summer tastes like coffee

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
.
.
.
#
.

summer tastes like coffee
annisa yumna ulfah
.
.
“... since then, every summer tastes like coffee.”

#

Soal Peduli



Jadi saya berpikir apakah kita memang ... sangat peduli pada orang lain—sehingga kita, dengan begitu pedulinya, memberi orang tersebut pekerjaan?

Ataukah kita terlalu peduli pada diri sendiri, sehingga tak mau merepotkan diri dengan membawa kembali barang-barang yang telah dipakai, lalu mencari tempat sampah terdekat?

MWM: Motive? What Motive?

Suatu hal yang merupakan tebak-tebakan jika ingin mengetahui motif pengeboman ganda di Brussels, tiga hari setelah penangkapan otak di balik Serangan Paris November lalu.

Beberapa sumber, salah satunya BBC1) pun masih menebak-nebak apakah serangan ini telah direncanakan, ataukah sebuah tindakan balas dendam.

Analisis: 'Stage Completed' Mendadak

Semula saya, yang masih santai-santai di kasur seusai sholat subuh, menjelajahi Quora untuk bahan bacaan pagi. Satu pertanyaan muncul di tab Pertanyaan Populer, tentang mundurnya pasukan Rusia dari Suriah. Semula saya benar-benar kaget, mengira hal itu hanyalah sebuah pengandaian dari pengguna.

Kenyataannya, di laman depan BBC pun hal itu menjadi tajuk utama.

Baru

Kolya mengendus rumput. Lalu dia mendongak. Matahari masih terlihat seperti biasanya, sama seperti yang pertama kali dia lihat. Menggantung di angkasa dengan jari-jari sinar yang tak pernah menemukan cara untuk berbelok. Dia kembali mendekati ilalang yang menguning. Kali ini yang paling tinggi, diendusnya lagi. “Aku bisa mencium baunya, Ayah.”

“Bau apa?” Ayah mengunyah rumput. Sempat berhenti sesekali, namun dia kelihatan menikmatinya.

“Bau yang kuceritakan saat di perjalanan menuju sini. Sekarang makin tajam. Apa Ayah tidak menciumnya?”

“Tentu,” Ayah mencabut rumput lagi dengan gigi-geligi serinya yang besar dan kokoh, “tapi Ayah sudah terlalu terbiasa dengan bau ini sejak Ayah kecil. Kakekmu bahkan bercerita ada bau yang lebih menyebalkan lagi. Dia akhirnya terbiasa.”

“Apa ini akan meracuniku?” Kolya terlihat khawatir. Rahangnya mengatup rapat setelah menunggu terlalu lama. Ayah terlalu sibuk mengisi perutnya. Beliau ‘kan sudah besar, kenapa harus terus menebalkan kantung perutnya? Kolya tak pernah paham selera makan kalangan dewasa.

“Tentu tidak. Lihatlah Ayah,” Ayah menggoyangkan kepalanya, tanduknya yang gagah nyaris mengenai moncong Kolya jika ia tak mundur beberapa langkah. “Ayah masih kuat dan hebat, bukan?”

Kolya berpaling. Memandangi kejauhan, padang rumput yang tak punya batas. Di sini tidak ada satu pun makhluk yang kata ayahnya bernama ‘manusia’, yang sesekali membuatnya takut, seringkali mencoba mendekati kawanan mereka dengan tawa-tawa yang menyebalkan—sesekali mengerikan—dan kerlingan mata yang tak pernah memberikan rasa aman bagi Kolya. Entah yang lain merasakan hal serupa atau tidak, Kolya rasa dia tak perlu tahu itu. Lebih penting kenyataan bahwa dengan kepindahannya ke sini, dia bisa semakin jauh dengan makhluk-makhluk tersebut. Ada banyak rumput di sini. semuanya bisa dibagi dengan Ayah maupun bagian lain kawanan. Kolya menarik napas panjang—kali ini mencoba tak terlalu peduli pada bau yang kurang menyenangkan itu.

“Makanlah, Nak, rumput-rumput di sini lezat!”

“Mmm ....”


“Jangan ragu,” Ayah menanduknya ringan pada bagian dada, “makan. Enak sekali. Dan ada banyak rumput, kita tidak perlu merasa takut kehabisan.”

Kolya mengendus rumput yang pendek. Dicobanya menggigit lalu mengunyahnya. Terasa sedikit berbeda dengan rumput di tempat asalnya. Agak ... pahit, atau entahlah. Ada bau amis di beberapa kunyahan. Dia bisa merasakannya. Namun ketika dia menelan, rasa itu terlewat begitu saja dan tidak sedikit pun tersangkut di sela gigi-giginya. Dia mengulanginya, hingga merasa nyaman dan terbiasa. Ayahnya tersenyum dan menanduk bangga putranya lagi.

Angin yang bertiup sedikit lebih kencang membuat Kolya tersadar dan berhenti makan sebentar. Dia mendongak dan memerhatikan satu lain lain. Udara bergerak dengan lebih bebas di sini.

“Baru datang, ya?”

Kolya mencari-cari asal suara mencicit itu. Ia harus menyibakkan sekumpulan rumput tinggi untuk menemukan si penyapa.

“Hai. Aku Anya,” cicit lagi, dua gigi depannya yang panjang bergerak-gerak seiring rahangnya yang tak bisa diam, “aku sudah tinggal di sini sejak musim semi kemarin. Di sini lebih bebas. Apa kau datang bersama keluargamu?”

Kolya harus menunduk untuk memperjelas penglihatannya pada si teman baru, tupai berbulu cokelat yang sedang memegang pecahan biji yang tua. Dia memandanginya cukup lama sebelum akhirnya menjawab dengan ramah, “Ya. Itu mereka,” dia menoleh untuk menunjukkan kelompoknya yang berpencar-pencar dan sibuk dengan hidangan makan siang masing-masing. “Apakah kau sendirian?”

“Teman-temanku ada di pohon sana,” Anya hanya mengedikkan kepala sebentar ke arah selatan, “selamat datang. Di sini, walaupun baunya sedikit aneh dan kadang-kadang setelah hujan badanku agak gatal, tetap merupakan tempat yang sangat enak untuk ditinggali.”

“Badan gatal?” Kolya terdengar tak senang. Lubang hidungnya kembang-kempis. “Itu kedengarannya sangat tidak enak. Apakah gatalnya sangat menyebalkan?”

“Tidak juga. Hanya sedikit. Dan ketika aku menjilat tubuhku, gatalnya hilang. Jangan takut, tempat ini tidak menyeramkan. Aku senang berada di sini,” Anya lalu sibuk dengan bijinya. Menggigiti hingga habis dan remah-remahnya pun dia raup dari tanah. Ia kembali bicara setelah menjilat habis jemarinya. “Yang penting kita semakin jauh dari manusia. Aku hanya melihat mereka datang ke satu kali. Dan mereka tidak mendekat. Tempat ini sepertinya khusus untuk kita,” mata bulat hitamnya nampak berbinar dan dia mengangguk-anggukkan kepalanya cepat. “Rasanya menyenangkan sekali!”

Kolya mendongak kembali. Menutup kelopak matanya sedikit saat cahaya matahari dengan nakalnya menyusup ke matanya. Angin berembus lagi, dengan cukup keras kali ini hingga Kolya merasakan getarannya hingga ke dalam hidungnya. Baunya menyusup semakin dalam ke tubuhnya, dia merasakannya, namun sejenak kemudian semua itu hilang dan berganti dengan kenyamanan.

“Bagaimana?”

“Kalau menurutmu menyenangkan ...,” Kolya mencium rumput di dekat kaki depan kirinya, “kurasa memang menyenangkan. Kita lebih aman di sini, bukankah begitu?”

“Benar sekali!” Anya pun melompat-lompat, “boleh aku naik ke punggungmu? Aku selalu ingin tahu rasanya menaiki binatang yang lebih besar! Saat aku masih kecil, aku sering melihat manusia menaiki binatang dan mereka kelihatan sangat senang dan bangga. Juga tertawa-tawa. Aku ingin mencoba.”

Kolya pun menunduk hingga moncongnya nyaris mencium akar rumput—dan dia bisa mencium aroma segar barusan, dia bertaruh!—untuk mempersilakan Anya naik.

“Whoa, terima kasih!” Anya mencicit riang sambil bergelayutan di tanduk Kolya yang mulai memanjang dan mencabang, “rasanya memang menyenangkan!”

Kolya menggigit pucuk rumput yang tinggi. Sambil mengunyah dia mendengarkan cicitan Anya tentang kisah-kisah padang rumput ini. Malam-malamnya yang dingin dan musim seminya yang sedikit berbau. Rumput-rumput yang tinggi dan berayun ringan.

Angin membawa cerita itu semakin menjauh, Kolya tak terlalu memasukkannya ke dalam hati namun dia menikmati cerita sahabat barunya.

Uh-oh, sepertinya angin itu juga menyapu rasa takut Kolya.

tamat.



a/n: diambil dari berita bahwa zona eksklusi chernobyl telah dihuni kembali oleh satwa liar. hanya berfantasi bahwa hewan-hewan bisa mencium bau bahan-bahan radioaktif. berita selengkapnya bisa dibaca di sini: http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/10/populasi-hewan-liar-di-zona-eksklusi-chernobyl-melimpah

leap

(lapslock and daily language everywhere, this is only a random thought that has been written in such a random time)


kabisat (leap) itu ditambahkan supaya menggenapkan perhitungan karena rotasi dan revolusi itu sendiri bukanlah sesuatu yang genap ya. tapi kemudian such extrinsic factors kayak gempa, bencana dll bisa memperlambat penggenapan itu sendiri yang berujung pada pengganjilan.
usaha penggenapan yang berakhir pada pengganjilan.
jadi sebenarnya perhitungan itu pun adalah sesuatu yang ... umm ... fragile? fickle?
berhitung untuk menggenapkan yang pada akhirnya ganjil juga.
pada akhirnya manusia nggak bisa menentukan sesuatu yang tepat. sedalam apapun perhitungan matematika, tetep aja ada mistake sana sini sana sini.

jadi biarpun seseorang pinter matematika fisika itung-itungan dan segalanya, selalu berujung pada keganjilan. kalau belum menemukan keganjilan, berarti belum dalam.

kesimpulannya: ga ada yang mutlak. tapi kenapa dunia ini tetap berjalan?

ada kekuatan lebih mutlak yang ngatur.

waktu, yang selama ini kita jadikan sebagai patokan, sebenernya adalah kreasi manusia sendiri yang sesungguhnya terpisah dari kemutlakan sesungguhnya yang ada di alam semesta. ciptaan manusia itu selalu ada salahnya, seakurat apapun itu. kalo belum menemukan kesalahan, berarti belum dalam dan akurat

jadi ya sebenarnya: kemutlakan di tangan Allah. hehe.

Senin Menunggu

Dia telah memakai pakaian terbaiknya. Yang wangi, yang licin, dengan rambut rapi jali. Jam tangan juga sudah melingkar mantap di pergelangan kiri. Bukan oleh-oleh dari Swiss dan berpredikat super mahal, sebenarnya, tapi produksi Italia dengan kelas nomor sekian tidak juga terlihat buruk di dirinya.

Sedikit dilonggarkannya dasinya. Terlalu kencang untuk sebuah pagi yang rileks tapi bersemangat. Dan dia berucap “Alright!” di depan refleksinya sendiri.

Lalu melangkah keluar rumah.