Password WiFi
Password WiFi
- - -
Aku
sudah mengenal nama orang itu, dan menghafalnya sejak kemarin Jeanine, sahabat
baruku menyebutkannya secara nggak langsung. Jeanine menyebutkan nama anak
sekelas satu per satu, menunjuki mereka sesuai tempat duduk mereka.
Ronny,
katanya. Aku belum pernah berbicara sama sekali dengannya. Bukannya karena
nggak mau atau gengsi—hei, kalau aku gengsi, mana mungkin aku bisa bertahan di
hari keduaku sebagai murid baru di SMA ini?—tapi karena sifat Ronny sendiri.
Dia kelihatannya ... mm, pendiam? Nerdy?
Susah diajak ngomong? Atau malah introvert, mungkin?
Tapi
sungguh, aku butuh dia pagi ini. Benar-benar butuh! Tapi caranya kenalan,
gimana, ya?
Aku
sudah memasukkan beberapa nama orang di dalam daftar:
oh-yang-inilah-yang-akan-jadi-kawan-kawanku-nanti. Dan Ronny bukan salah
satunya. Nggak, bukannya aku nggak mau temenan sama dia. Cuma yah ... kalian
pasti ngerti gimana rasanya kalau kamu dipaksa buat temenan sama seseorang yang
nggak cocok sama diri kalian. Aku adalah tipe orang yang kalau temenan ... aku
harus menemukan seseorang yang bisa mendengarkanku, atau kalau nggak, menjawab
kehebohanku dengan hal yang sama.
Sayangnya,
itu nggak bakal kutemukan di Ronny.
Lihatlah.
Dia geek. Dia cuma main laptop di
sudut ruangan, di dekat PC kelas, di dekat modem wifi, dan di samping laptopnya ada tiga buah buku tebal. Dia nggak
pakai kacamata, memang, tapi dari caranya dia menyibukkan dirinya sendiri
dengan dunianya, dia nggak lebih jauh dari tipe seseorang yang introvert, menurut pengamatanku.
Kalau
aku sudah memutuskan buat nggak bisa temenan baik sama seseorang, atau waktu
aku sudah kehilangan minat untuk berteman, maka aku akan kehilangan cara buat
memulai pembicaraan.
Lalu
aku harus mulai perkenalan dengan cara apa?
“Hai,
aku Sharya, kamu siapa?”
Iuwh.
Terlalu basa-basi. Aku nggak suka. Aku lebih senang sesuatu yang langsung pada
sasaran. To the point.
“Aku
Sharya. Kamu Ronny kan? Jeanine yang ngasih tahu. Nah, kira-kira kamu tahu
nggak apa maksud aku dateng ke kamu pagi ini, di saat orang-orang pada belum
datang lalu—”
Aku
yakin Ronny bakal langsung buang muka kalau aku langsung ceplas-ceplos sesuai
sifat asliku di depan wajahnya.
Atau
....
“Hai.
Mm ... i-itu ... bisa minta tolong? Aku punya keperluan. Gini—”
What? Terlalu
out of character. Bukan aku sama
sekali. Aku nggak bisa jadi bunglon begitu. Aku adalah aku. Aku ya aku, di
manapun aku berada. Sekalipun aku adalah cicak yang nggak seunik bunglon, aku
akan tetap jadi cicak walaupun aku sedang berada di Pentagon.
Lalu
aku harus apa, ya ....
“Ngapain
kamu mandangin aku lama-lama begitu?”
Sialan!
Dia sedang melihat ke sini? Ow, apa dia punya kemampuan untuk merasakan bahwa
dia sedang dipandangi dari balik punggungnya?
—Oh,
tunggu, tunggu.
Ini
di luar dugaan. Kayaknya ada yang salah soal asumsiku soal sifat Ronny.
Kalaupun dia pendiam dan nggak peduli sama sekeliling, cara ngomong dia nggak
bakal kayak gitu. Aku berani jamin. Tiga kali pindah sekolah semenjak SMP—semua
karena pekerjaan Papa dan Mama yang enggan jauh-jauh dari papa—aku sudah
menemui banyak orang yang pendiam atau introvert,
dan mereka semua menunjukkan perilaku yang satu jenis.
Berarti,
Ronny dicoret dari daftar orang pendiam dan ...
...
ah, mungkin dia harus masuk daftar ‘oh-yang-inilah-yang-akan-jadi-kawan-kawanku-nanti’.
“Oi,
denger, nggak?”
“Eh—”
“Ngapain
lihat-lihat?”
Sial.
Orang ini tipe berani. Biasanya, kawan-kawan lelakiku tipenya begini, karena
mereka semua bisa kuajak meributkan sesuatu—entah soal manga, anime, atau film-film terbaik yang jadi box office.
“Mm
... aku mau minta password wifi.
Jeanine bilang, kamu yang ngeganti itu tiap hari, karena kamu yang datang
paling pagi dan kamu yang paling paham soal hal itu jadi ... yah, aku mau minta,”
kuputuskan untuk lanjut saja karena dari sorot matanya sepertinya dia meminta itu,
“Aku melakukan suatu kesalahan di posting
yang kubuat di blog tadi malam, aku harus beresin itu sekarang juga atau ...
itu akan jadi hal yang memalukan.”
“Oh.
Bilang dong. Sini, bawa kertas. Aku tulisin. Kalau disebut keras-keras takutnya
ada anak kelas lain yang nguping. Nanti jaringan kita dibajak.”
Aku
melongo.
Hei.
Kayaknya ada yang salah dengan penilaianku.
Oke,
oke, aku berusaha melupakan kesoktahuanku dengan berdiri dan membawa serta
ponselku. Ketika aku berjalan padanya, matanya tetap ke arahku namun dengan kedua
alis yang terangkat. Aku tidak tahu apa maksudnya. aku mungkin bisa menebaknya,
tapi aku benar-benar nggak bisa melakukan itu karena takut aku bakal salah. Aku
sudah gagal di first impression.
Dia
langsung mengetikkan kata kunci di kolom yang dibutuhkan di ponselku.
“Jangan
download banyak-banyak. Berbahaya
buat bandwith karena kita harus
berbagi jaringan sama tiga puluh satu orang, oke? Bagi-bagi, jangan egois
sendiri.”
“Iya,
iyaaa ...” aku mengambil HP-ku lagi. Dia menyerahkannya dengan hati-hati.
“Kamu
blogger, toh?”
“Mm,
iya.”
“Namanya?
Nanti aku follow.”
Dia
bukan introvert, karena dia membuka
dirinya pada orang lain dengan cara ini: mem-follow. Dia bukan pendiam, terlihat dari caranya menyapaku.
Kesan
awal yang menarik, hm? Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.
Karena enggak ada pilihan like. Aku kirim komen deh.
BalasHapus"Ceritanya bagus."
waaah, makasih sudah mampir dan berkomentar! >.<
Hapushehe, thanks juga pujiannya >////<