Peta Konstelasi
tantangan @KampusFiksi: #FiksiSurealis
sampit: minggu — 140907
.
Di
ujung kafe ini, tak ada mata yang mengawasiku dan mulut yang menegurku tentang
cangkir kopi ketujuh ini. Tubuhku membungkuk di dalam jaket tebal, dan kurasa
aku bisa melihat napas dari mulutku menjadi kabut yang bergumul dengan asap
kopi Italia di tanganku. Aku mendongak. Aku bisa melihat wajahmu di
langit-langit.
Lalu
aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Masih sangat jernih di ingatan saat kamu
memutuskan hubungan kita—kamu yang sudah bukan kamu. Kamu yang mulai dingin, mulai tak peduli, mulai tak ramah, mulai
lupa bahwa ada banyak janji yang kamu ucapkan tentang masa depan, begitu mudah
mengucap kata “Kita putus.”
Aku
meletakkan cangkir kembali ke tatakannya. Hanya sebentar saja bibir cangkir itu
mengecup bibirku, dan aku sudah mencampakkannya dengan berdiri dan meninggalkan
meja. Aku mungkin jahat, tapi aku tidak sejahat perlakuanmu padaku.
Aku ingin kamu yang dulu, maka dari itulah aku berdiri di depan kafe ini.
Memandang sekeliling. Mengembuskan napas pemula petualangan. Ke mana dulu aku
harus mencarimu?
Peta.
Ya.
Aku butuh peta. Aku butuh peta akan jejakmu. Kamu menghilang tanpa kabar sejak
setengah tahun lalu, sejak kamu berkata “putus”.
Aku
menatap langit. Aku melihat satu bintang yang berkelip paling terang dan cepat.
Kedipan liar. Sama seperti kedipan matamu yang seringkali diberikan untukku,
entah sebelum merengkuhku di pagi setengah siang yang lembab berbau hujan, atau
setelah menciumku di bayang-bayang batas senja dan malam.
Aku
mengambil lembaran langit dan merentangkannya di tangan. Aku menyingkirkan
kapas-kapas kelabu, membuang awan dan membiarkannya berserakan di dekat
sepatuku. Basah sedikit di ujung tali sepatuku, mungkin ada satu awannya
kembung akan air dan pecah di sana.
Aku
bisa melihat diriku di peta hitam ini. Entah mengapa, aku hanya yakin. Aku di
rasi Pisces Austrinus. Aku bintang Fomalhaut. Bintang itu bergerak dan berkedip
cepat ketika aku berjalan. Pisces Austrinus sekarang kosong tanpa bintang alphanya.
Aku mendengar dari balik punggungku seorang anak berbisik, “Bu, aku ingin lihat
bintang.”
Ibunya
menjawab, “Mungkin sedang mendung, Nak. Jadi bintangnya enggak datang hari
ini.”
Aku
menggulung petaku. Aku tidak ingin orang-orang melihat peta berharga ini. Tidak
sampai aku mengembalikannya ke atas.
Sebuah
kereta dengan tiga gerbong datang. Aku naik. Di dalam amat sepi. Aku
mengeluarkan petaku lagi. Jarak kita makin dekat. Kamu adalah Ankaa, bintang
alpha rasi Phoenix. Aku nyaris tertidur kalau tidak mendengar nyanyian
harmonika seorang pengamen. Aku membuka mata dan melihat dia memakai rok
kotak-kotak, bertanya padaku setelah
lagu pendeknya selesai, “Boleh aku lihat peta kakak? Aku juga sedang
mencari temanku. Mungkin peta itu bisa menunjukkannya.”
Peta
yang terbuka setengah di pangkuanku segera kugulung dan kupeluk, “Tidak. Aku
masih memerlukannya.”
Dia
pergi sambil memainkan lagu yang terdengar seperti lagu duka. Lagu pengantar
kematian. sAku membiarkannya. Aku juga tidak punya uang kecil untuk disisihkan
sebagai imbalan dari lagunya.
Stasiun
persinggahan cukup ramai di satu titik. Mereka berkumpul di bawah kanopi dan
banyak yang menunjuk langit. “Bintang-bintang di mana? Di mana?” lalu aku makin
merapatkan si peta pada pelukanku. Aku yang akan menemukan kamu. Kalau boleh,
kamu yang lama. Hanya aku. Aku yang bisa. Aku tidak akan membiarkan seorang pun
meminjam petaku.
Aku,
Sang Fomalhaut, sudah sampai di rasi Phoenix. Aku tidak perlu mencari
jauh-jauh, karena begitu aku menoleh ke kanan setelah keluar dari stasiun, di
balik punggung para pedagang asongan dengan kacang-kacang bungkus yang tinggal
sedikit di tangan, aku melihat kamu. Punggungmu tertutup jaket cokelat muda,
dan kamu sedang mencium kening seorang perempuan dengan rambut yang amat
pendek. Dulu kamu pernah bilang bahwa kamu lebih suka wanita dengan rambut yang
mencapai setengah punggung atau lebih. Supaya kamu bisa lebih puas menyentuh,
kamu bilang. Agar ada tirai yang menutupi ketika bibir bertemu bibir, kamu
bilang dengan nada konyol.
Mungkin
kamu memang sudah berbeda, tapi kuharap kamu bisa menjadi yang dulu lagi ketika
bahumu kusentuh.
Kukejar
lagi kamu yang memasuki bus. Kita meninggalkan Phoenix. Aku sempat ikut di bus
yang sama lewat pintu belakang, dan aku bisa memandang kepalamu dari posisi
terbelakang ini. Papan nama pergantian kota kita lewati sebanyak tiga.
Lalu
kita sampai di Eridanus. Rasi panjang. Kota besar. Masih ramai meski sekarang
sudah jam dua pagi lewat tujuh. Bintang Achernar, alpha Eridanus, sekarang
berkedip seperti kerlip nakal matamu yang dulu. Aku berdiri di posisi Acamar,
teta Eridanus.
Aku
mengejarmu ketika kamu melepas tangan wanita itu. Kupanggil, “Dylan!”
Kamu
menoleh, alismu hanya terangkat sekali. Lalu kamu menjauh. Berjalan cepat
dengan kedua tangan di dalam saku jaket. Aku menggenggam gulungan petaku
erat-erat, tak peduli bahwa aku bisa mengumalkannya. Langkahmu begitu gesit.
Kamu bisa dengan mudah melewati punggung orang-orang yang bertudung dengan
bingkai bulu pada sekelilingnya. Jarak kita seperti pertarungan dua gladiator
sama kuat: kadang yang satu berhasil menyaingi kekuatan, menyeimbangkan keadaan,
lalu lawannya berkelit dengan mudah.
Lalu
kamu hilang di depan sebuah toko yang masih mengadakan midnight sale. Kubuka lagi petaku yang sudah mengerut.
Kamu
ke Orion. Aku baru sadar bahwa kita sudah sampai di tepian Eridanus. Bintang
Rigel, alpha Orion, berkelip seperti sinar matamu ketika kamu menggoda. Aku
berlari lagi. Aku melewati begitu saja orang-orang yang menenteng tas belanja,
salah satunya berjalan melenggang dengan bunyi sandal hak tinggi yang berisik
sambil berkata, “Rasanya senja tadi aku melihat bintang dan bulan. Sekarang
mana? Aneh, ya. Awan juga enggak kelihatan.”
Di
ujung petaku, bulan mengerucut. Bagian itu kusut. Jari-jariku adalah
terdakwanya. Tapi bulan tak lebih indah daripada jarakku dan kamu yang sudah
semakin mendekat.
Aku
mengabaikan napasku yang memendek ketika aku berhasil melihatmu. Kamu melipat
jaketmu dan menyisipkannya ke dalam lubang sebuah kotak surat. Ingin
mengirimnya duluan ke masa depan duluan sebelum mantel itu kusentuh, Tuan?
“Dylan!”
Bintang
Rigel menghilang dari peta dan bergerak. Bintang Ankaa dan Rigel menghilang
dari peta tapi aku bisa melihat sebuah titik berjalan. Itu kamu. Ya. Ankaa dan
Rigel sudah menghilang dan yang tersisa hanya satu bintang liar yang tangkas
melompati ruang-ruang hitam antarbintang. Galaksi seperti kuasamu, dan alam
raya adalah batu lompatanmu. Ya, kamu memang liar. Liar yang kusukai. Liarnya
sorot mata gelapmu adalah favoritku ketika aku butuh semangat.
Kamu
sampai di Canis Mayor sebagai Sirius. Sirius terlalu baik untukmu. Tapi jadi
dialah kamu sekarang. Kita berhadapan ketika kamu terpojok di suatu gang dan
mata kita bertemu.
“Hai.
Sudah lama, hm?” aku menggulung lagi peta itu dan menyisipkannya ke saku
belakang jeans putih yang sekarang sudah kotor karena debu angkasa dan galaksi,
atau mungkin juga sedikit bagian dari nebula.
Kamu
tertawa kecil lalu maju dan menangkup separuh bingkai wajahku. Kamu menciumku.
Sebentar sekali. Tapi bibirmu dingin. Tidak lagi senyaman dulu. Tetapi aku
sudah melintasi konstelasi-konstelasi sejauh ini bukan untuk omong kosong. Aku
butuh kamu yang dulu. Akan kugunakan tangan ini untuk mengembalikan Dylan yang
kutahu. Kurengkuh bahumu tapi kamu tetap mengabaikanku. Tanganku di punggungku
bertarung aksi dengan tanganmu di bahuku. Aku menarik, kamu mendorong. Kamu seperti
atmosfer yang menolak kedatangan meteor dengan membakarnya, tetapi aku adalah
meteor yang keras kepala. Kita lantas bergumul dalam kekeraskepalaan.
Aku
benci kamu yang sekarang. Tetapi benci dan cintaku padamu jaraknya lebih tipis daripada
jarak antara satu kedipan bintang dengan kedipan berikutnya. Jadi, sebenci
apapun aku padamu, bisa dengan sangat mudahnya aku kembali melangkah ke ruang
cintaku padamu.
Tapi
kamu yang menang kemudian. Kamu yang melepaskan duluan.
“Retha,
kamu tahu sesuatu?”
“Ya,”
aku mengangguk. “Aku pasti bisa mengubah kamu. Mengembalikan kamu yang dulu.”
“Omong
kosong,” dia menyingkirkan bahuku. “Bintang saja bergerak,” dia lalu mencapai
bagian belakang celanaku dan merenggut peta tadi. Yang kemudian tak dia
apa-apakan kecuali dilempar ke tanah. “Apalagi manusia. Manusia bergerak ke
arah yang lebih baik. Dan kurasa aku menjadi orang yang lebih baik tanpa
dirimu.”
Kamu
membiarkanku seperti patung. Aku bisa mendengar decit sepatumu menjauh yang
bercampur dengan suara tak suka orang-orang yang kehilangan bintang.
Aku
membungkuk untuk mengambil petaku. Kubuka dan kutemukan sebuah bintang bergerak
ke arah rasi Monoceros. Kamu.
Kugumpal
petaku. Kulemparkan ke parit kecil di samping gedung apartemen, gedung yang lampu-lampu
ruangannya telah banyak yang mati. Di dalamnya, bintang mengerut. Bulan jadi
kisut. Konstelasi jadi kusut. Langit menjadi ciut.
Kalau
aku tidak bisa mendapatkan keindahan kamu yang dulu, maka dunia juga sepertinya
tak akan bisa mendapatkan keindahan bintangnya lagi.
tamat.
0 komentar: