summer tastes like coffee
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
.
.
.
#
.
summer tastes
like coffee
annisa yumna ulfah
annisa yumna ulfah
.
.
“... since then, every summer
tastes like coffee.”
Ada bau kopi. Pradnya
langsung menengok ke belakang, pada deretan bangku terakhir kedua.
Detta mengangkat termos
kecilnya seraya berisyarat.
“Boleh,” Pradnya
berdiri dan menerima termos itu. Ia menghidu aromanya cukup lama sebelum
mereguknya satu-dua kali. Lidahnya mencecap-cecap, ada sedikit kerutan di
keningnya. “Pahit juga. Tapi enak. Thanks, Det.” Pradnya kembali duduk, masih
terdengar seperti mendecak-decak.
“Bukannya kamu doyan
kopi, Prad?” Allysa mendelik sebentar dari halaman novelnya. “Kayak nggak
pernah nyoba yang pahit-pahit aja.”
“Ya sih. Yang ini
lumayan. Tapi ‘kan kubilang enak.”
Allysa membaca lagi,
dua-tiga kalimat, lalu berhenti. Menatap pada jalanan yang semakin mengecil dan
agak menanjak di depan sana. “Eh,” katanya, mengerjapkan matanya lebih cepat.
“Sekarang tanggal 2 bulan delapan, ‘kan?”
“Ah, iya, ya.” Pradnya
menjawab cuek, ala kadarnya. Ia membetulkan posisi duduknya, lalu menoleh ke
jendela seolah sedang terjadi sesuatu di luar sana. “Sudahlah. Nggak perlulah
tanggal putus diingat segala.”
Allysa seperti ingin
tertawa. “Habisnya, selama empat tahun ini ....”
Pradnya hanya melebas
lengan Allysa dengan buku catatan kecilnya. Allysa tertawa tetapi
menyembunyikannya di balik halaman buku.
Pradnya bergumam sembar
mencecap-cecap.
“Pahit.”
#
Davin masih merasakan
sisa kopi di pangkal lidahnya saat pintu terbuka.
“Selamat pagi, Tante.”
“Astaga, Davin, Nak,
selamat datang!” Ibu Pradnya langsung melebarkan daun pintu dan menepuk-nepuk
bahu Davin. “Masuk, masuk. Duduk, silakan. Apa kabarmu? Waah, baru pulang, ya?”
“Iya, nih, Tan. Baru
kemarin siang. Pradnya ada?”
“Waduh, nggak pas
sekali, ini. Pradnya baru berangkat kemarin pagi.”
Davin tetap tersenyum
tenang, walau ia sempat menelan ludah keras-keras untuk menahan diri.
Pahit itu hilang.
Tapi, entahlah.
#
Desa sunyi di kaki
gunung itu tetap terasa dingin meski sudah memasuki bulan Agustus. Gunungnya
terlihat begitu dekat, rumah-rumah bersusun di antara pepohonan yang
berselang-seling dengan kebun-kebun warga. Perempuan paruh baya menanjaki jalan
dengan kaki telanjang, dan anak-anak mengayuh sepeda di sisi lain, berbalapan.
Pradnya turun dari bus sebagai
yang terakhir, secara sengaja, dan ia merapatkan pashmina di lehernya. Allysa
menaikkan kacamatanya, perlahan menjauh dari Pradnya dan mengikuti teman-teman
tim yang lain yang menyalami kepala desa yang menyambut.
Angin berembus kencang,
awan mendung berarak datang, tetapi anak-anak, yang berada di lapangan kecil
tepat di samping persinggahan bus, tetap ceria bermain. Menggulirkan bola,
hilir-mudik mengejar. Beberapa bahkan tak memakai baju, dan kesemuanya
bertelanjang kaki, meninggalkan sandal-sandal mereka tercerai-berai di tepi
halaman.
Pak Kardi, sang kepala
desa memperkenalkan dirinya langsung dengan panggilan akrab. Pradnya sengaja
pula mengambil giliran terakhir, ketika teman-temannya sudah berjalan menuju rumah
warga yang bersedia tim mereka inapi. Sebagian besar menutupi kaos seragam
relawan mereka dengan jaket, mereka mulai membaur dengan remaja-remaja desa
untuk membicangkan hal-hal ringan. Pradnya sengaja bersama Pak Kardi.
“Dingin sekali, ya,
Pak, hawanya. Agustus lho padahal ini. Musim panas, kemarau. Enak, ya.”
“Namanya juga di
gunung, Dek. Nggak terbiasa, ya? Wah, perkotaan panas, sih.”
Pradnya tersenyum
kecut. “Saya suka, kok. Dingin-dingin begini lebih nenangin. Gerah bikin
gelisah,” ia tertawa halus. “Ah, apalagi sambil ngopi, nih. Pahit-pahit panas.”
“Wah, cewek-cewek suka
kopi pahit, nih. Hayuk, mari, Dek, ajak teman-temannya yang lain juga, ngopi di
rumah saya. Nanti goreng pisang juga biar lengkap.”
“Oke, Pak!” Pradnya
mengangguk cepat. “Saya ajakin mereka dulu, ya!”
#
Detta menuruni bukit,
melompat-lompat kecil melewati bebatuan dan rumput tinggi yang agak tajam. “Hai.”
“Eh, hei.” Pradnya
menoleh dan refleks tersenyum. “Halo.”
Detta bukan orang baru
bagi Pradnya. Dikenalnya sejak awal kuliah strata pertama, gedung fakultas
mereka bersebelahan. Sesekali pernah bertemu dalam kegiatan, berkemah, atau
organisasi luar. Masuk ke jenjang berikutnya, mereka bertemu dalam satu kelas,
dan terutama dalam tim relawan ‘guru tiga bulan’ yang kerap berkeliling ke
pelosok-pelosok bentukan mahasiswa lintas jurusan dan tingkat se-universitas
ini. Detta jutek dalam sekali lihat, tetapi cukup ramah dan bisa berbagi jika
dijadikan teman. Terlebih, dia sama-sama suka kopi.
“Oh, kopinya kamu
bawa?” Detta mengedikkan dagu ke arah sebelah kanan Pradnya. Segelas kopi
ditaruh miring di lereng berumput, lengkap dengan tatakan dan tutup gelasnya,
plastik merah jambu.
“Hm-mm. Abisnya enak.
Duduk-duduk, dingin, kopi. Ya nggak sih?” Pradnya tersadar untuk mereguk
kembali kopi yang telah mendingin itu. Sruput,
kedengaran sangat nikmat.
“Sejak kapan suka kopi,
Prad?”
“Mmm.” Kopi belum jauh
dari bibir Pradnya. “Baru aja, sebenarnya. Empat tahunan.”
“Kamu ingat tahunnya
segala. Kayaknya ada hal penting, tuh?”
Pradnya hanya tertawa.
Lidahnya mencecap-cecap berisik.
Detta tak terlalu
mendengar,
“Pahit, ah.”
#
“Pradnyaaa!” Detta
muncul dari balik bukit.
Pradnya mengalihkan
pandangan dari anak-anak yang berlari dari buku-buku mereka, kotak-kotak kartu
pengetahuan yang ia buat, dan pensil-pensil yang baru diraut.
“Ada tamu buat kamu.
Nah, ini dia.”
Pradnya menurunkan
tangan yang tersilang di depan dadanya, perlahan. Ia menahan napasnya cukup
lama.
“Aku tinggal, ya,” Detta
langsung mundur, sembari tersenyum. Pradnya langsung curiga Detta telah
mendengar banyak hal tentang si tamu.
“Halo. Sekilas lihat,
kabarmu pasti baik-baik saja.”
“Dav ... ah, halo. Yah,
begitulah,” Pradnya mengangkat bahu, menggeleng tanpa maksud yang berarti. “Di
samping anak-anak yang nggak bisa begitu saja langsung menerima pelajaran
santai yang kuberikan, aku baik-baik saja.” Ia membiarkan matanya beradu pandang
dengan Davin. Membiarkan harapan bergumul dengan rasa yang campur aduk. “Perfectly fine. How’s Helsinki for you?”
“Ah, well, Helsinki sangat baik. Dan
merupakan kenangan yang ... benar-benar menyenangkan.” Tawa kikuk, dan gestur
canggung. Sesaat kemudian Davin mendeham. “Sekadar catatan buat kamu aja,
kadangkala, dengan menjadi relawan kita memang punya kewajiban buat menanamkan
pelajaran untuk masyarakat target—tetapi terkadang, kitalah yang harus
mengikuti kebiasaan mereka. Lihatlah, mereka dan alam. Menyatu. Begitulah
mereka. Kita yang harus membaur. Nyatuin apa yang jadi dunia mereka dengan
pesan-pesan yang kita bawa.”
“Thanks penjelasannya, though I wouldn’t pay for it.”
Davian tergelak pelan.
“Kamu nggak terlalu berubah, rupanya, Prad.”
“Itu karena kamu yang
berubah.”
“Mm. Gitu, ya?” Davin
memasukkan tangannya ke dalam saku. Memandang kejauhan dengan raut yang sedikit
rumit. Ia nyaris tersenyum tetapi ada yang terkurung di balik itu semua.
“... Munafik.”
Davin mengerjap. “Aku
tahu.”
#
Laporan hari pertama
itu baru ditulis bagian pembukanya, saat Davin menjatuhkan diri pada kursi di
hadapan Pradnya. Pradnya menaikkan kacamatanya sambil mengamati kopi Davin,
cangkir kacanya yang bermotif koi, lalu sebongkah keju di atas tatakannya.
“Ini terinspirasi dari kaffeost dan leipäjuusto. Kopi dengan keju. Tapi karena di sini nggak ada
leipäjuusto asli dan nggak mungkin bagiku membawanya dari Finlandia, voila!” Davin mengangkat bongkahan keju
itu, menceburkannya ke dalam kopi begitu saja. “Tetap enak.”
Rahang Pradnya
menggantung dan ia hanya bisa mengernyitkan keningnya dalam-dalam. “Keju ...
dan kopi ... oke, baiklah, aku nggak akan berkomentar.”
“Yaah, meskipun makanan
yang aneh itu terlihat seperti dosa di mata orang lain, tapi bagi penyukanya,
mm,” ia menyeruput kopinya seolah baru pertama kali merasakan kenikmatan
meluruhi kerongkongannya, “tetap rasanya kayak surga.”
Pradnya memilih untuk
berdecak saja dan lanjut mencorat-coret kertas. Sesekali membuat koreksi dengan
garis-garis seadanya.
“Kopimu nggak diminum?”
Pradnya hanya
mendengungkan ‘hm’ yang sumbang.
“Prad.” Bunyi cangkir
yang diletakkan ke atas meja kaca membuat Pradnya mengangkat pandangannya
sebentar. “Aku benar-benar minta maaf.”
“Karena?” Pradnya
menelan kepahitan dan hanya menyuarakan dirinya sebaik dan sedatar mungkin.
“Aku salah. Aku tahu
itu nggak benar—dengan melarang kamu kerja sosial ke pelosok-pelosok, padahal
itu adalah mimpi terbesar kamu, dan ditambah lagi aku malah mengejar mimpiku
sendiri ke Helsinki setelah ... aku keberatan sama keputusan kamu. Salah
banget, Pradnya, aku tahu dan aku menyesali itu.”
“Lalu kamu minta
balikan, gitu?”
Davin menarik napas
dalam-dalam dan menutup rapat matanya, mencari caranya sendiri untuk tidak
memaksakan diri, “Nggak mungkin semudah itu, bagi kamu yang aku tahu keras
kepala—”
“—kayak kamu nggak
keras hati aja.”
“—yang terpenting
hanyalah kamu bisa maafin aku dan aku yang terlalu egosentris waktu itu, aku
yang terlalu kepengen ditunggu dan ditunggu dengan setia—itu benar-benar posesif
dan kekanakan. Aku tahu.”
Pradnya melepaskan
kacamata, melipatnya tenang dan menyembunyikannya ke dalam buku alasnya
menulis. “After all these years?” Ia
beranjak.
Tak ada kegusaran pada
langkahnya. Hanya derap-derap halus yang tenang dari seorang perempuan yang tak
lagi melihat ke belakang.
Maupun pada kopinya.
#
“Dia beneran serius sampai
nginap segala, ya, ternyata,” Allysa mencelupkan pakaiannya ke dalam air
sungai. Mengangkatnya sampai ia berdiri. “Kupikir cuma mampir terus pulang.”
Pradnya tak menjawab.
Terus saja menggerus pakaiannya dengan sabun mandi batangan. Terkutuklah memori
jangka pendeknya yang selalu berlaku untuk hal-hal yang tak diinginkan;
deterjen yang sudah ia bawa jauh-jauh sekarang tak tahu rimbanya.
“Jadi, dimaafin nggak,
tuh?”
Pradnya hanya
mengernyit masam.
“Apa kamu perlu
dilayanin seminggu sama dia di sini, baru kamu mau ngomong sama dia lagi?”
“Ih. Ngga seklasik itu
juga, kali.” Pradnya mengambil air dari sungai dan menyiramkannya pada kainnya. “Dia, orang yang sudah bikin aku minum kopi kental nyaris tanpa gula sejak
empat tahun lalu biar aku sadar bahwa masih ada yang lebih pahit daripada
dipisahkan karena mimpi, bohong kalau nggak bikin aku marah.”
“Tapi?”
“Empat tahun nggak
sebentar juga. Kalau kubilang aku masih marah, itu jadinya terlalu klasik.
Semua ada prosesnya. Sayang sekali itu nggak bisa dibikin kayak baru lagi hanya
dalam seminggu, dengan permainan ala putri-putrian kayak gitu.”
Allysa tergelak sesaat.
“Cowok yang bisa minta maaf secara langsung itu hebat, lho. Aku taruhan, deh,
dia nggak bener-bener ngehubungin kamu dengan serius selama dia di sana itu
karena dia mau bicara muka sama muka.”
Pradnya kembali
melindas pakaiannya yang lain, masih dengan sabun batangan yang menyusut
drastis.
#
Ada Davin di teras Pak Kardi.
Menghentikan Pradnya sesaat, tetapi sudah terlambat karena Pak Kardi melihatnya
lebih dulu, dan dengan santainya berkata pada Davin bahwa seorang temannya
datang menyusul.
“Sebentar, ya, Bapak
bilang sama Ibu dulu buat nambah teh. Dek Pradnya tunggu aja dulu.”
“Tapi, Pak, saya
sebentar aja, kok. Cuma mau konsul tentang program baru—”
“Nggak apa, duduk aja.
Ada Davin di sini, ‘kan? Ngobrol aja dulu sementara nunggu.”
Tak lagi Pak Kardi
menunggu Pradnya untuk sanggahan lain. Davin memandangnya sambil menahan
senyum, “Teh, kata beliau. Nggak ralat buat minta kopi aja?”
Pradnya berusaha
tertawa, terdengar aneh dan begitu penuh paksa, “Man, ayolah.”
Davin
mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai, santai. “Kenapa harus kopi, Prad?”
“Logikamu pasti bisa
ngerti, ‘kan?”
Davin berdiri,
mengangkat bahu. “Omong-omong, nggak lupa ‘kan bahwa sebelumnya aku juga nggak
doyan kopi?” dia menekankan pada bagian akhir, sembari mengedikkan dagu pada
cangkir di atas meja bundar rendah yang memisahkan dua kursi kayu. “Aku mau pamit
sama Pak Kardi dulu.”
#
Detta menghampiri
Pradnya ketika pertandingan kecil-kecilan antara anggota tim relawan laki-laki
dengan anak-anak di lapangan kecil dengan gawang hanya dua pasang tiang. Davin
berada di dalam tim, tertawa-tawa mengejar bola dan bersaing dengan seorang
bocah gondrong.
“Davin betah, ya, di
sini.” Ia melirik, sengaja lama-lama untuk mengamati ekspresi Pradnya. “Mungkin
dia nunggu sesuatu?”
Pradnya meneguk ludah.
Lima menit lalu ia menghabiskan kopinya.
Tidak pahit.
#
Anak Pak Kardi datang
dari kota, dan ia membawa gitar baru. Anggota tim turut bernyanyi bersamanya,
dan ada kue-kue yang dihidangkan. Yang perempuan sebagian ikut meramaikan,
sebagian duduk di atas bebatuan pekarangan.
“Kukira kamu bakal bawa
kopimu sendiri.”
Pradnya mendongak, lalu
menggeleng. “Kupikir kamu minum.”
“Kenapa? Mau minta?”
Davin kemudian tertawa kecil. “I’ll have
a cup soon. Abisin satu lagu dulu.” Terdegar ia menarik napas sangat,
sangat dalam. Sedikit nyaring embusannya. “Jadi ... kamu maafin aku? Besok
adalah hari terakhir aku di sini karena aku nggak mungkin lama-lama. Aku bukan
anggota tim, dan mungkin, Mama masih kangen karena aku tiba-tiba pergi lagi
abis pulang.”
Pradnya berdiri,
mengibaskan kotoran pada celana jinsnya. “Nggak mungkin bagi kita buat
menyambung sesuatu yang sudah putus.” Namun ia mengulurkan tangan. “Tapi kita
bisa memulainya lagi dari awal. Halo. Aku Pradnya Tunggadewi Karsa. Dua puluh
empat tahun. Penyuka kopi pahit.”
Davin menyunggingkan
senyum tipis sembari mengulurkan tangan, “Davin Arkanda Mulya. Dua puluh empat
tahun. Penyuka kopi dengan keju, penyuka musim panas Skandinavia. Senang
berkenalan denganmu.”
tamat.
*kaffeost:
“coffee
cheese” dari Swedia
*leipäjuusto: keju dari Finlandia yang dibuat dengan susu sapi/susu rusa
*leipäjuusto: keju dari Finlandia yang dibuat dengan susu sapi/susu rusa
BIODATA
Nama : Annisa Yumna Ulfah
Alamat : JL. RA. Kartini No. 6A RT 15 Sampit 74311, Kalimantan Tengah
No. HP : 085249215175
No. KTP : 6202056304950001
Twitter : @yumnazuka
Facebook : www.facebook.com/yumna.sa
Alamat : JL. RA. Kartini No. 6A RT 15 Sampit 74311, Kalimantan Tengah
No. HP : 085249215175
No. KTP : 6202056304950001
Twitter : @yumnazuka
Facebook : www.facebook.com/yumna.sa
0 komentar: