Hempas Kesal Angin Mentaya
untuk tantangan @kampusfiksi #DeskripsiAngin
.
Yang
Shilla sukai selain sungai di depan gang rumahnya, tentu saja halimunnya.
Halimun yang perlahan menghilang ketika matahari meninggi adalah tirai yang
membukakan lagi pintu rasa penasarannya akan apa yang ada di seberang sana, di
depan tanah tempat kakinya berpijak, di mana Sungai Mentaya adalah pemisahnya.
Seranau selalu menjadi seberang yang dia ingin ketahui, dia belum pernah
berwisata ke sana meski tempat itu hanya beberapa meter dari tempat dia
tinggal. Hutan dan beberapa rumah tua adalah pemandangan yang mengenyangkan dan
membahagiakan untuknya, tetapi mungkin tidak bagi orang lain. Tidak mengapa,
karena Shilla juga tidak berniat membaginya dengan yang lain. Apalagi untuk
investor-investor nakal yang logikanya sudah ditelan nafsu.
Selain
semua itu, angin sungainya, tentu saja.
Tetapi
semua itu harus begeser ke tingkat bawah kalau dia menikmatinya bersama Daniel.
Daniel dan cerita mimpi-mimpinya yang setinggi langit, yang maknya dan niatnya sedalam
lautan, namun tetap menyenangkan untuk didengar seperti angin yang pulang-pergi
meninggalkan lagu alam.
“Aku
mau membaca di bawah lampu jalanan Oslo,” ucap Daniel.
Shilla
tersenyum saja.
Angin
pagi ini cukup kencang, membukakan tirai halimun lebih cepat. Membawakan
halimun ke sekeliling mereka dan menutup mereka dengan kabut dari dunia. Agar mereka
bisa menikmati waktu santai menyenangkan ini tanpa terusik. Sambil menutupi,
angin juga memainkan musik untuk telinga Shilla. Mungkin tidak secantik karya
Mozart, tetapi cukup untuk dinamai sebagai lagu dengan seruling yang ditiup
alam dengan harmoni yang bagus walau bertangga nada rendah.
“Mungkin
aku bisa menemukan buku mitologi Nordik dengan bahasa Norwegia asli di sana?
Nanti kubelikan buat kamu. Serius. Sekalian buat belajar, Shil. Kamu sudah mulai
bisa ngerti sedikit-sedikit, ‘kan?”
Semilir
angin lewat dan menarik serta rambut Shilla. Sekali. Dua kali. Tetapi dia lebih
mementingkan Daniel; dia mengabaikan angin yang mencoba mengajaknya bermain
hanya untuk menjawab Daniel, “Bisa, sih. Dikit-dikit banget, tapinya.
Tatabahasanya juga belum ngerti banyak. Cara bacanya aja kadang suka kepeleset,
Dan, hahaha. Tapi ... bagus juga. Aku mau. Janji, ya?”
Angin
sekarang malah membisikinya, hei, kemarin
kamu suka aku, ‘kan? Ayo main! Aku akan memainkan lagu lama dan kutunggu siulan
kamu. Biasanya suka ikut nyanyi bareng aku, hm?
Shilla
mendengar nada yang biasa dari sapuan angin yang berlalu di dekat telinganya,
biasanya dia akan ikut bersiul mengikuti, tetapi Daniel buru-buru melanjutkan
tanpa tahu bahwa perhatian Shilla sekarang mulai terbagi dua.
“Aku
mau backpacking keliling Norwegia
juga kalau liburan, ah. Nanti foto-fotonya kukirim ke kamu.”
“Ih,
berarti nggak pulang, dong?”
“Mahal.
Kecuali kamu yang bayarin. Haha.”
“Daripada
bayarin kamu, mending aku yang terbang ke sana.”
“Boleh
banget. Serius, kutunggu, lho.”
“...
Yah, mungkin. Mungkin. Mungkin itu bakal terjadi. Siapa tahu, ‘kan? Siapa tahu
ada hujan uang dari langit atau pohon di depan rumahku salah menghirup senyawa
udara lalu tiba-tiba besoknya semua daun berubah jadi dollar. Euro, lah,
minimal.”
Daniel
tergelak. Lepas dan renyah. Juga keras. Angin terusir, dan dia mencoret-coret
wajah Shilla dengan helai rambut gadis itu yang diajaknya memberontak untuk
mencuri perhatian Shilla. Sayang, Shilla hanya menyingkirkannya sebentar lalu
berpaling pada Daniel lagi.
“Tapi
Dan, boleh minta sesuatu?”
Daniel
mengangguk pasti, seolah dia bisa menjamin segala pinta Shilla. Seolah dia
punya dunia untuk dijual pada si pemohon dan hanya rasa terima kasih Shilla-lah
balasannya. Seakan dia adalah pengabul harapan yang tak pernah berkhianat,
sesetia angin pada halimun pagi Sungai Mentaya.
“Jangan
tinggalkan Norwegia sebelum aku bisa menyusul. Aku mau kita menikmatinya
bersama, suatu saat nanti.”
“Boleh,”
mengatakan memang semudah bermimpi, tetapi Daniel berani menjamin hanya angin
kiamatlah yang bisa membuatnya tidak bisa menepati janji.
Angin
semakin gusar dan rambut panjang Shilla terkibar ke sana ke mari. Mozart yang
kesal mungkin akan menghempas sepuluh jemarinya di atas deretan tuts dan seperti
itulah yang angin lakukan dengan caranya sendiri. Hei, hei, katanya mau main lagu lagi denganku hari ini?! Lalu dia
membuat Shilla harus buru-buru menyisir rambutnya dengan jari, beberapa bagian
mengusut.
“Hei.
Kita sarapan, yuk?” ajak Daniel.
“Mmm,
baik. Aku juga lapar. Tadi malam cuma makan donat. Bayar sendiri-sendiri, oke?
Kamu harus nabung buat kepergian kamu dan aku juga lagi ngehemat buat beli
DSLR. Sip?”
“Sip,”
Daniel pun mengacak rambut Shilla lalu berlari menuruni jembatan duluan, “Siapa
yang telat harus beliin buku baru buat yang menang!”
“Heeei,
nggak ada peraturan gitu! Curaaaang!” Shilla berlari di jalanan landai dan
mencoba menyesuaikan langkah dengan Daniel.
Yah, mungkin kali ini kamu lebih
tertarik sama dia, angin pun
membawa serta halimun dari sekeliling Daniel dan Shilla, membiarkan dunia
melihat mereka dengan lebih jelas, biar
kuperlihatkan dua anak muda yang lagi senang-senangnya bermimpi dan cuma bisa
bermimpi, kata angin kesal. Karena dicueki.
Tetapi
yang dunia lihat dari mereka adalah dua orang yang tersenyum penuh harap, dan
tak ingin membiarkan angin menerbangkan impian mereka jauh-jauh dari diri
mereka karena mereka begitu menjaganya.
Dengan
semangat mereka.
Angin
pergi ke permukaan Sungai Mentaya, lalu bersemayam di sana, menunggu Shilla dan
Daniel kembali datang bersantai di jembatan agar bisa dia datangi lagi dan
bertanya, hei, sekuat apa impian kalian,
apakah kalian akan membiarkanku mengusik kalian yang sedang asyik menceritakan
impian, lalu bahkan membiarkanku mengusir mimpi kalian?
Sepertinya,
tidak akan.
0 komentar: