Kolya mengendus rumput. Lalu dia
mendongak. Matahari masih terlihat seperti biasanya, sama seperti yang pertama
kali dia lihat. Menggantung di angkasa dengan jari-jari sinar yang tak pernah
menemukan cara untuk berbelok. Dia kembali mendekati ilalang yang menguning.
Kali ini yang paling tinggi, diendusnya lagi. “Aku bisa mencium baunya, Ayah.”
“Bau apa?” Ayah mengunyah rumput.
Sempat berhenti sesekali, namun dia kelihatan menikmatinya.
“Bau yang kuceritakan saat di
perjalanan menuju sini. Sekarang makin tajam. Apa Ayah tidak menciumnya?”
“Tentu,” Ayah mencabut rumput lagi
dengan gigi-geligi serinya yang besar dan kokoh, “tapi Ayah sudah terlalu
terbiasa dengan bau ini sejak Ayah kecil. Kakekmu bahkan bercerita ada bau yang
lebih menyebalkan lagi. Dia akhirnya terbiasa.”
“Apa ini akan meracuniku?” Kolya
terlihat khawatir. Rahangnya mengatup rapat setelah menunggu terlalu lama. Ayah
terlalu sibuk mengisi perutnya. Beliau ‘kan sudah besar, kenapa harus terus
menebalkan kantung perutnya? Kolya tak pernah paham selera makan kalangan
dewasa.
“Tentu tidak. Lihatlah Ayah,” Ayah
menggoyangkan kepalanya, tanduknya yang gagah nyaris mengenai moncong Kolya
jika ia tak mundur beberapa langkah. “Ayah masih kuat dan hebat, bukan?”
Kolya berpaling. Memandangi
kejauhan, padang rumput yang tak punya batas. Di sini tidak ada satu pun
makhluk yang kata ayahnya bernama ‘manusia’, yang sesekali membuatnya takut,
seringkali mencoba mendekati kawanan mereka dengan tawa-tawa yang menyebalkan—sesekali
mengerikan—dan kerlingan mata yang tak pernah memberikan rasa aman bagi Kolya.
Entah yang lain merasakan hal serupa atau tidak, Kolya rasa dia tak perlu tahu
itu. Lebih penting kenyataan bahwa dengan kepindahannya ke sini, dia bisa
semakin jauh dengan makhluk-makhluk tersebut. Ada banyak rumput di sini.
semuanya bisa dibagi dengan Ayah maupun bagian lain kawanan. Kolya menarik
napas panjang—kali ini mencoba tak terlalu peduli pada bau yang kurang
menyenangkan itu.
“Makanlah, Nak, rumput-rumput di
sini lezat!”
“Mmm ....”
“Jangan ragu,” Ayah menanduknya
ringan pada bagian dada, “makan. Enak sekali. Dan ada banyak rumput, kita tidak
perlu merasa takut kehabisan.”
Kolya mengendus rumput yang
pendek. Dicobanya menggigit lalu mengunyahnya. Terasa sedikit berbeda dengan
rumput di tempat asalnya. Agak ... pahit, atau entahlah. Ada bau amis di
beberapa kunyahan. Dia bisa merasakannya. Namun ketika dia menelan, rasa itu
terlewat begitu saja dan tidak sedikit pun tersangkut di sela gigi-giginya. Dia
mengulanginya, hingga merasa nyaman dan terbiasa. Ayahnya tersenyum dan
menanduk bangga putranya lagi.
Angin yang bertiup sedikit lebih
kencang membuat Kolya tersadar dan berhenti makan sebentar. Dia mendongak dan
memerhatikan satu lain lain. Udara bergerak dengan lebih bebas di sini.
“Baru datang, ya?”
Kolya mencari-cari asal suara
mencicit itu. Ia harus menyibakkan sekumpulan rumput tinggi untuk menemukan si
penyapa.
“Hai. Aku Anya,” cicit lagi, dua
gigi depannya yang panjang bergerak-gerak seiring rahangnya yang tak bisa diam,
“aku sudah tinggal di sini sejak musim semi kemarin. Di sini lebih bebas. Apa
kau datang bersama keluargamu?”
Kolya harus menunduk untuk
memperjelas penglihatannya pada si teman baru, tupai berbulu cokelat yang
sedang memegang pecahan biji yang tua. Dia memandanginya cukup lama sebelum
akhirnya menjawab dengan ramah, “Ya. Itu mereka,” dia menoleh untuk menunjukkan
kelompoknya yang berpencar-pencar dan sibuk dengan hidangan makan siang
masing-masing. “Apakah kau sendirian?”
“Teman-temanku ada di pohon sana,”
Anya hanya mengedikkan kepala sebentar ke arah selatan, “selamat datang. Di
sini, walaupun baunya sedikit aneh dan kadang-kadang setelah hujan badanku agak
gatal, tetap merupakan tempat yang sangat enak untuk ditinggali.”
“Badan gatal?” Kolya terdengar tak
senang. Lubang hidungnya kembang-kempis. “Itu kedengarannya sangat tidak enak.
Apakah gatalnya sangat menyebalkan?”
“Tidak juga. Hanya sedikit. Dan
ketika aku menjilat tubuhku, gatalnya hilang. Jangan takut, tempat ini tidak
menyeramkan. Aku senang berada di sini,” Anya lalu sibuk dengan bijinya.
Menggigiti hingga habis dan remah-remahnya pun dia raup dari tanah. Ia kembali bicara
setelah menjilat habis jemarinya. “Yang penting kita semakin jauh dari manusia.
Aku hanya melihat mereka datang ke satu kali. Dan mereka tidak mendekat. Tempat
ini sepertinya khusus untuk kita,” mata bulat hitamnya nampak berbinar dan dia
mengangguk-anggukkan kepalanya cepat. “Rasanya menyenangkan sekali!”
Kolya mendongak kembali. Menutup
kelopak matanya sedikit saat cahaya matahari dengan nakalnya menyusup ke
matanya. Angin berembus lagi, dengan cukup keras kali ini hingga Kolya
merasakan getarannya hingga ke dalam hidungnya. Baunya menyusup semakin dalam
ke tubuhnya, dia merasakannya, namun sejenak kemudian semua itu hilang dan
berganti dengan kenyamanan.
“Bagaimana?”
“Kalau menurutmu menyenangkan ...,”
Kolya mencium rumput di dekat kaki depan kirinya, “kurasa memang menyenangkan.
Kita lebih aman di sini, bukankah begitu?”
“Benar sekali!” Anya pun
melompat-lompat, “boleh aku naik ke punggungmu? Aku selalu ingin tahu rasanya
menaiki binatang yang lebih besar! Saat aku masih kecil, aku sering melihat
manusia menaiki binatang dan mereka kelihatan sangat senang dan bangga. Juga
tertawa-tawa. Aku ingin mencoba.”
Kolya pun menunduk hingga
moncongnya nyaris mencium akar rumput—dan dia bisa mencium aroma segar barusan,
dia bertaruh!—untuk mempersilakan Anya naik.
“Whoa, terima kasih!” Anya
mencicit riang sambil bergelayutan di tanduk Kolya yang mulai memanjang dan
mencabang, “rasanya memang menyenangkan!”
Kolya menggigit pucuk rumput yang
tinggi. Sambil mengunyah dia mendengarkan cicitan Anya tentang kisah-kisah
padang rumput ini. Malam-malamnya yang dingin dan musim seminya yang sedikit
berbau. Rumput-rumput yang tinggi dan berayun ringan.
Angin membawa cerita itu semakin
menjauh, Kolya tak terlalu memasukkannya ke dalam hati namun dia menikmati
cerita sahabat barunya.
Uh-oh,
sepertinya angin itu juga menyapu rasa takut Kolya.
tamat.
a/n: diambil dari berita bahwa zona eksklusi chernobyl telah
dihuni kembali oleh satwa liar. hanya berfantasi bahwa hewan-hewan bisa mencium
bau bahan-bahan radioaktif. berita selengkapnya bisa dibaca di sini: http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/10/populasi-hewan-liar-di-zona-eksklusi-chernobyl-melimpah