Camar dan Matahari Senja

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!



Camar dan Matahari Senja


Kalau bukan karena camar dan dia, Via tidak akan membiarkan waktu senjanya terbuang di tepi pantai, ajakan Yara, Talitha, Nurie, Kay, dan yang lain-lainnya untuk makan di resto andalan resort ini, Bumbu Nusantara, pasti sudah dia terima. Apalagi, mereka telah mengiminginya dengan olahan sate ikan favoritnya. Tetapi sayang, dia—hatinya—punya pilihan yang lebih menggiurkan. Memandangi matahari menanggalkan satu kepingan hari lagi di ufuk barat dia ambil sebagai yang terpilih. Alasan dari pilihannya hanya satu: kombinasi senja, camar, oranye, dan Zal.
Besok mereka akan pulang. Via akan kembali ke kotanya, dan Zal pun akan meluncur ke tempat dia menuntut ilmu. Liburan akan usai dan Via tentu saja tak akan membiarkan senja ini berakhir begitu saja.
Tepian pantai tempat The Bay Bali berlokasi ternyata lebih indah dari perkiraannya, dan bersama Zal di sini ialah hal terbaik yang dinantinya sekian tahun. Kesenangan sederhana yang mungkin berbumbu duka, tetapi ini adalah sebuah pertemuan yang ingin sekali dikecapnya setelah sekian tahun tak berjumpa dan bertatap muka dengan Zal.
Konfesi tadi malam, di balkon, di bawah bulan yang tersenyum licik, diganggu oleh bisikan angin darat yang berisik, dan penolakan. Semua berkecamuk di kepala Via namun tak dia biarkan semua mengacaukan secuil rasa bahagianya.
“Zal.”
“Hm?” dia menoleh. Warna kulitnya yang putih diisap sinar oranye, pupus cela di wajahnya, yang terlihat bagi Via hanyalah ekspresi tenang yang tersorot sempurna oleh matahari. Bagus, sudah terekam di memori, pelengkap kebahagiaan sore ini. Sesaat, Via bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa Zal tidak pulang saja, dan malah mau menemani seseorang yang sudah ditolaknya di tepi pantai ini.
“Kenapa camar nggak bosan sama hidupnya, sih? Apa mereka senang-senang aja pergi pagi, pulangnya sore banget. Begitu tiap hari.”
“Jangan nilai kebahagiaan suatu makhluk hanya dengan tolok ukur yang kamu tetapkan sendiri,” Zal tertawa kecil. Hati Via makin tertawan. Sepuluh tahun belum cukup baginya untuk terus mengagumi Zal. Meski dalam diam, meski dalam bisu, dia bahagia mencintai Zal—meski sampai tadi malam pun, dia masih divonis bertepuk sebelah tangan.
“Mungkin camar cinta senja, ya, jadi mereka pulang di saat seperti ini biar mereka bisa terus bahagia karena bisa bertemu senja setiap hari.”
“Bisa jadi.”
Keheningan memadat. Tidak banyak lagi yang berlalu-lalang di belakang mereka berdua. Para camar juga sudah banyak yang tiba di rumah.
“Via.”
“Kenapa? Mau balik duluan? Nggak apa-apa. Silahkan,” bahkan panggilan seperti barusan pun bisa menjelma menjadi serbuan kupu-kupu kebahagiaan yang menggelitik Via.
“Bukan. Aku cuma mau tanya. Apa kamu tetap senang,” dia berdehem dahulu, “Mencintai aku bertahun-tahun, tanpa ada balasan? Menunggu, menunggu, dan menunggu. Itu menyakitkan.”
Via tertawa. “Mencintai itu pun sudah termasuk hal menyenangkan. Dan kesenangan itu bakal naik tingkat kalau kita dicintai,” dia menyisipkan anak rambutnya yang liar terayun-ayun nyaris tanpa kendali. Angin kembali tidak bersahabat. “Kamu nggak mau, nih, menaikkan level kesenangan aku dengan mencintai balik?” dia tergelak. Cuma bercanda. Dia tahu Zal suka lelucon. Penolakan kedua tadi malam tidak membuatnya dendam ataupun menuntut. Dia jujur dengan jawabannya. Baginya, mencintai pun sudah termasuk kebahagiaan.
Benar. Zal menyambut humor itu dengan tawa. Via tak mengharap jawaban lebih. Dia sudah tenang. Yang dia ingin berikan hanyalah tanda pada Zal bahwa Zal dicintai dan dibutuhkan. Tetek-bengeknya belakangan. Mengatakan pada seseorang bahwa kita mencintainya sudah termasuk hal memuaskan yang mengundang gembira bagi para pecinta yang tulus, begitu alasan Via, dan dia tidak berkeberatan sama sekali.
“Aku ini senja. Senja yang menanti camar,” terang Via, mengisap bau garam dalam-dalam. “Aku hanya bisa melihat camar sesekali, pada waktu sore. Setiap pagi aku tidak bisa melihat camar karena dia selalu pergi duluan. Aku cuma bertemu camar sebentar, camar pun tidak peduli padaku, tapi aku tetap senang bertemu dan menerangi jalan pulang untuk camar.”
“Hm, aku camarnya, kalau gitu?”
“Bisa dibilang begitu.”
Zal mengukir hal abstrak di atas pasir. Ada sedikit luka pada tepi jemarinya, membuat dia berhati-hati menggoreskan isi hati di atas bulir kasar namun putih itu. Tentu, Via memperhatikannya. Mengagumi geraknya.
“Ke atas, yuk. Temuin mereka. Aku lapar,” Zal berdiri. Salah satu tangannya tersisip di saku dan salah satunya terulur tepat di depan wajah Via.
“Hmh, good idea,” Via menyambut. Tak ada lagi alasan untuk dia tetap bertahan mengotori pakaiannya dengan pasir. Langit pun sudah mengelabu dan pantai sudah sunyi dari hingar-bingar kepulangan camar.
Zal tidak melepaskan tangan Via untuk beberapa langkah awal. Tidak juga di setengah perjalanan. Tidak pula ketika pantai sudah mulai jauh dari mereka.
“Kamu tahu alasanku menolakmu tadi malam?” Zal tidak memalingkan wajahnya. Separuh kalimatnya diusik angin, tertelan sebagian oleh bayu yang semilir itu.
“Kamu nggak mau bilang sampai sekarang.”
“Aku mau menyimpan kebahagiaan bersama kamu buat nanti.”
“Hm, cuma itu?”
Zal mengangkat bahu. Entah tanda apa itu. Via cuma bisa memandangi punggungnya dan membiarkan tatapan penuh tanyanya memantul kembali dari sana.
“Habis ini aku bakal pergi. Jauh. Camar nggak akan ketemu matahari buat beberapa lama. Camarnya nggak akan pulang.”
“Nggak ketemu kamu sekian lama aja, aku masih kayak yang dulu. Aku tetap bahagia, meski cuma sayang dari jauh dan tanpa kabar dari kamu.”
Kedua tangan masih bertautan. Tangan ombak menjangkau lebih tinggi di bibir pantai, ingin mengusik mereka, namun mereka telah jauh. Bulir putih berlengketan di kaki. Via tak peduli. Zal juga. Yang dia pedulikan hanya tangan Via—yang sekarang digenggamnya lebih kencang.
“Aku diterima di perusahaan besar. Sambil kerja di perusahaannya, aku boleh sambil kuliah.”
“Di mana?”
“Prancis.”
“Oh.”
“Kalau aku nerima kamu sekarang, kurasa nggak ada gunanya. Kita bakal kepisah jauh. Lama. Kamu tahan? Aku memang berubah pikiran dari penolakan yang pertama, sekian tahun lalu. Tapi kurasa aku juga belum bisa membahagiakan kamu sekarang. Maaf.”
Via melepaskan tawa renyah. “Matahari pantai tetap bahagia setiap hari, masih bersinar, masih tersenyum ke seluruh jagat raya biarpun satu camar favoritnya tidak pulang ke sarang ketika dia menemukan daratan yang dia cintai. Kamu pikir kebahagiaanku bakal hilang cuma karena jarak? Matahari senja nggak pernah bisa menyentuh camar tapi dia tetap ngasih sinar terbaiknya buat menyambut camar kesukaannya yang pulang,” Via menoleh pada ufuk barat. Si bulat oranye sudah ditelan laut. Sepenuhnya. Namun, corak oranye masih berhamburan di atas permukaan air, beberapa camar terbang cepat, susul-menyusul sambil menukik tajam, kemudian mata Via tak lagi mampu menjangkau eksistensi mereka. Matanya tak bisa melihat lebih jauh lagi. Dia meninggalkan kacamata di meja kamar.
“Yakin? Mataharinya nggak akan kangen dengan camar?”
“Masih banyak camar yang lain kok,” Via terkekeh. Sayang, dia tidak bisa melihat reaksi yang tampak di wajah Zal. “Bercanda, bercanda,” ralatnya, menaikkan nada bicara ke tingkat yang lebih serius. “Matahari bakal selalu menanti. Banyak yang dia sinari tapi dia cuma mengingat satu camar, yang hanya ditemuinya beberapa senja sekali, tapi tetap dia ingat sampai dunia kiamat.”
Zal akhirnya menoleh. “Nggak akan sedih kalau kuterima kamu sekarang, tapi kuminta kamu nunggu lima tahun lagi?”
“Buat apa? Kamu terima pun aku sudah lebih bahagia dari yang sebelumnya. Lantas, kenapa aku malah jadi lebih sedih?”
“Baguslah,” kemudian dia menyembunyikan wajahnya lagi dari Via. Kali ini, sayang sekali Via tak menyaksikan senyumnya.
“Hm, jadi kamu mengubah apa yang kamu bilang tadi malam?”
“... Ya.”
“Jarak yang jauh bisa mengubah pikiranmu, ternyata. Aku senang mendengarnya.”
“Hm. Ya. Soalnya belum pernah ada yang bertahan denganku selama itu selain orang tuaku sendiri. Orang tuaku bisa ngasih aku banyak kebahagiaan karena mereka bertahan di sisiku sekian lama untukku, anak bungsunya yang bandel dan belum bisa ngasih banyak hal ini. Kupikir, kamu juga bakal kayak gitu. Aku yakin.”
“Aku nggak bisa berjanji,” Via memainkan tangannya, tangan Zal ikut terayun pula. “Tapi aku berani mencoba bikin pembuktian.”
“Kutunggu,” Zal menoleh, tersenyum, kelabu langit tidak bisa mengaburkan rautnya yang mengundang Via untuk tersenyum bahagia pula karenanya. “Sejauh apapun camar pergi, cuma buat mataharilah dia akan pulang.”
Zal dan Via ikut bergabung dengan teman-temannya, menikmati sajian yang dipesankan yang lain untuk mereka. Besok, mereka akan meninggalkan tempat ini, dan jarak akan terentang lebih jauh lagi setelah perjumpaan ini berakhir. Namun, bagi Via, tak mengapa, mencintai pun sudah membuatnya bahagia. Apalagi ketika Sang Camar mau menerima sinarnya. Dan lebih bahagia lagi ketika Sang Camar mau melihat padanya. Perpisahan yang kali ini tak terasa seperti perpisahan sama sekali.
Karena Sang Matahari Senja di Barat tahu, Sang Camar pasti akan pulang lagi, di senja berikutnya, entah senja yang mana. Dia tetap menunggu di barat setiap sore, dan tetap membagi cahaya pada bumi, meski Sang Camar hanya pulang sesekali.
tamat.

biodata
Nama          :    Annisa Yumna Ulfah
Alamat        :    JL. RA. Kartini No. 6A RT 15 Sampit 74311, Kal-Teng
No. KTP     :    6202056304950001
No. HP        :    085249215175
Twitter        :    @yumnazuka (http://www.twitter.com/yumnazuka)
Facebook    :    Annisa Yumna Ulfah (http://www.facebook.com/nisyeonmikazuka)

Penulis kelahiran tahun 1995 ini merupakan mahasiswi jurusan ilmu sastra di salah satu universitas negeri di Indonesia. Senang sekali menulis, musik dan kadang suka juga memotret. Menyukai warna biru, tertarik dengan dunia anime dan manga khas Negeri Sakura. Sudah pernah meerbitkan karyanya di nulisbuku dengan judul “Jingga Senja”, dan telah memenangi beberapa proyek antologi dari penerbit indie seperti “Magical Stories”, “Dari Jendela yang Terbuka”, “Karena Es Campur”, “Moment Indahnya Kebersamaan”, dan lain-lain. Bisa dihubungi di akun  twitter @yumnazuka.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: