Password WiFi

00.14 2 Comments

Password WiFi


- - -

Aku sudah mengenal nama orang itu, dan menghafalnya sejak kemarin Jeanine, sahabat baruku menyebutkannya secara nggak langsung. Jeanine menyebutkan nama anak sekelas satu per satu, menunjuki mereka sesuai tempat duduk mereka.


Ronny, katanya. Aku belum pernah berbicara sama sekali dengannya. Bukannya karena nggak mau atau gengsi—hei, kalau aku gengsi, mana mungkin aku bisa bertahan di hari keduaku sebagai murid baru di SMA ini?—tapi karena sifat Ronny sendiri. Dia kelihatannya ... mm, pendiam? Nerdy? Susah diajak ngomong? Atau malah introvert, mungkin?

Tapi sungguh, aku butuh dia pagi ini. Benar-benar butuh! Tapi caranya kenalan, gimana, ya?
Aku sudah memasukkan beberapa nama orang di dalam daftar: oh-yang-inilah-yang-akan-jadi-kawan-kawanku-nanti. Dan Ronny bukan salah satunya. Nggak, bukannya aku nggak mau temenan sama dia. Cuma yah ... kalian pasti ngerti gimana rasanya kalau kamu dipaksa buat temenan sama seseorang yang nggak cocok sama diri kalian. Aku adalah tipe orang yang kalau temenan ... aku harus menemukan seseorang yang bisa mendengarkanku, atau kalau nggak, menjawab kehebohanku dengan hal yang sama.

Sayangnya, itu nggak bakal kutemukan di Ronny.

Lihatlah. Dia geek. Dia cuma main laptop di sudut ruangan, di dekat PC kelas, di dekat modem wifi, dan di samping laptopnya ada tiga buah buku tebal. Dia nggak pakai kacamata, memang, tapi dari caranya dia menyibukkan dirinya sendiri dengan dunianya, dia nggak lebih jauh dari tipe seseorang yang introvert, menurut pengamatanku.

Kalau aku sudah memutuskan buat nggak bisa temenan baik sama seseorang, atau waktu aku sudah kehilangan minat untuk berteman, maka aku akan kehilangan cara buat memulai pembicaraan.

Lalu aku harus mulai perkenalan dengan cara apa?

“Hai, aku Sharya, kamu siapa?”

Iuwh. Terlalu basa-basi. Aku nggak suka. Aku lebih senang sesuatu yang langsung pada sasaran. To the point.

“Aku Sharya. Kamu Ronny kan? Jeanine yang ngasih tahu. Nah, kira-kira kamu tahu nggak apa maksud aku dateng ke kamu pagi ini, di saat orang-orang pada belum datang lalu—”

Aku yakin Ronny bakal langsung buang muka kalau aku langsung ceplas-ceplos sesuai sifat asliku di depan wajahnya.

Atau ....

“Hai. Mm ... i-itu ... bisa minta tolong? Aku punya keperluan. Gini—”

What? Terlalu out of character. Bukan aku sama sekali. Aku nggak bisa jadi bunglon begitu. Aku adalah aku. Aku ya aku, di manapun aku berada. Sekalipun aku adalah cicak yang nggak seunik bunglon, aku akan tetap jadi cicak walaupun aku sedang berada di Pentagon.

Lalu aku harus apa, ya ....

“Ngapain kamu mandangin aku lama-lama begitu?”

Sialan! Dia sedang melihat ke sini? Ow, apa dia punya kemampuan untuk merasakan bahwa dia sedang dipandangi dari balik punggungnya?

—Oh, tunggu, tunggu.

Ini di luar dugaan. Kayaknya ada yang salah soal asumsiku soal sifat Ronny. Kalaupun dia pendiam dan nggak peduli sama sekeliling, cara ngomong dia nggak bakal kayak gitu. Aku berani jamin. Tiga kali pindah sekolah semenjak SMP—semua karena pekerjaan Papa dan Mama yang enggan jauh-jauh dari papa—aku sudah menemui banyak orang yang pendiam atau introvert, dan mereka semua menunjukkan perilaku yang satu jenis.

Berarti, Ronny dicoret dari daftar orang pendiam dan ...

... ah, mungkin dia harus masuk daftar ‘oh-yang-inilah-yang-akan-jadi-kawan-kawanku-nanti’.

“Oi, denger, nggak?”

“Eh—”

“Ngapain lihat-lihat?”

Sial. Orang ini tipe berani. Biasanya, kawan-kawan lelakiku tipenya begini, karena mereka semua bisa kuajak meributkan sesuatu—entah soal manga, anime, atau film-film terbaik yang jadi box office.

“Mm ... aku mau minta password wifi. Jeanine bilang, kamu yang ngeganti itu tiap hari, karena kamu yang datang paling pagi dan kamu yang paling paham soal hal itu jadi ... yah, aku mau minta,” kuputuskan untuk lanjut saja karena dari sorot matanya sepertinya dia meminta itu, “Aku melakukan suatu kesalahan di posting yang kubuat di blog tadi malam, aku harus beresin itu sekarang juga atau ... itu akan jadi hal yang memalukan.”

“Oh. Bilang dong. Sini, bawa kertas. Aku tulisin. Kalau disebut keras-keras takutnya ada anak kelas lain yang nguping. Nanti jaringan kita dibajak.”

Aku melongo.

Hei. Kayaknya ada yang salah dengan penilaianku.

Oke, oke, aku berusaha melupakan kesoktahuanku dengan berdiri dan membawa serta ponselku. Ketika aku berjalan padanya, matanya tetap ke arahku namun dengan kedua alis yang terangkat. Aku tidak tahu apa maksudnya. aku mungkin bisa menebaknya, tapi aku benar-benar nggak bisa melakukan itu karena takut aku bakal salah. Aku sudah gagal di first impression.

Dia langsung mengetikkan kata kunci di kolom yang dibutuhkan di ponselku.

“Jangan download banyak-banyak. Berbahaya buat bandwith karena kita harus berbagi jaringan sama tiga puluh satu orang, oke? Bagi-bagi, jangan egois sendiri.”

“Iya, iyaaa ...” aku mengambil HP-ku lagi. Dia menyerahkannya dengan hati-hati.

“Kamu blogger, toh?”

“Mm, iya.”

“Namanya? Nanti aku follow.”

Dia bukan introvert, karena dia membuka dirinya pada orang lain dengan cara ini: mem-follow. Dia bukan pendiam, terlihat dari caranya menyapaku.

Kesan awal yang menarik, hm? Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

2 komentar:

  1. Karena enggak ada pilihan like. Aku kirim komen deh.

    "Ceritanya bagus."

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah, makasih sudah mampir dan berkomentar! >.<
      hehe, thanks juga pujiannya >////<

      Hapus