Crema
tantangan @KampusFiksi: #DeskripsiInterior
sampit: minggu — 140914
.
Yang
pertama kali kutemui ketika masuk ke dalam Museum Kota Crema itu adalah
serombongan siswa yang berjalan bak anak-anak itik mengekor induknya. Sang
pemandu mungkin guru mereka, mengoceh cepat dalam bahasa Italia yang hanya
kumengerti sepotong-sepotong per kalimatnya. Masing-masing dari mereka membawa
notes kecil dan tampak antusias ketika guru mereka singgah pertama kali ke
sebuah lukisan tak jauh dari pintu depan. Aku berbelok pelan, menjauh dari
mereka, dan mendekati sebuah lukisan pemandangan.
Ada
palang berupa tali melengkung di depan lukisan tersebut, batas maksimal
pengunjung untuk mendekat. Mungkin lukisan ini spesial. Di bawahnya ada sebuah
meja kayu, mengkilat sekali. Jambangan bunga kecil ada di ujungnya, dengan
bunga merah jambu pucat dan tulisan “Venice”
yang dilukis sedemikian rupa dan tepian huruf yang dibuat melengkung. Di
baliknya adalah tembok dengan cat krem yang lembut.
Lukisan
itu amat cantik, indah dengan caranya sendiri. Padang rumput dengan sungainya
dan beberapa domba yang kecil namun nyaris bulat. Bayang-bayang kelabu pada
bulunya membuat kesan yang bagus, seolah daging domba itu hanya terbuat dari
bulu, begitu tebal dan empuk. Di situlah, seolah aku melihat dirimu.
Dirimu
berdiri di tengah-tengah padang rumput, dengan kuas raksasa, dan berteriak
padaku seakan kamulah master pembuat lukisan asing ini, “Hei, lihat lukisanku,
Sha! Hebat, ‘kan?”
Hanya
lukisanlah yang membuatmu hidup di dalam diriku. Hanya lukisan—entah lukisan
apapun itu—yang menjadi tanda kehidupanmu di diriku, setelah semua fotomu dan
foto kita kubakar dan kuhapus saat aku nyaris gila beberapa waktu lalu karena
kau meregang nyawa di depanku ketika kecelakaan itu terjadi. Lukisan-lukisan
adalah relikui bagiku atasmu. Kamu pernah hidup bersama lukisan, dan sekarang
lukisanlah nyawamu yang tersisa setelah jasadmu dan tubuhku dipisahkan bumi.
Aku
ingin menyentuh lukisan itu, tetapi aku dibatasi. Seolah ini analogi dunia
nyata saja—aku tidak bisa lagi menyentuhmu karena sudah ada pemisah di antara
kita.
Catnya
seolah menyisakan garis hidupmu. Aku melihat refleksiku di ujung kaca pelindung
lukisan, dan cepat-cepat kuhapus apa yang sudah menjuntai di ekor mataku.
Kuharap tidak ada yang melihatku barusan. Kedatangan orang lain adalah hal
terakhir yang kuinginkan detik ini.
Aku
meninggalkan lukisan itu untuk menghindari bayang-bayangmu yang seperti hidup
di atas padang rumput itu dan sedang meraih ujung mataku untuk menyekanya.
Yang
berikutnya adalah lukisan seorang wanita. Ritratto
di ragazza, tulisan pada papan kecil di bawah bingkainya berbunyi. Dilukis
oleh Camilla Marazzi. Dan ada cerita singkat tentang sang pelukis di bawah
namanya. Aku hanya membaca yang bagian ujung, dan kutemukan fakta bahwa bukan
cuma kamu seniman muda yang tidak punya jatah umur cukup panjang untuk terus
berkarya. Tapi, menurutku Camilla lebih beruntung. Dia pergi pada usia dua
puluh enam, empat tahun lebih lambat darimu.
Kamu
kurang beruntung. Dan orang tak beruntung lain di sini adalah yang terpantul
pada sudut kaca lukisan itu lagi, yang sekarang berhasil meloloskan satu bulir
air dari ekor matanya. Cepat-cepat aku mendongak dan berakting seolah baru saja
kelilipan. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan pada orang dengan bahasa
Italiaku yang terbata-bata atas apa yang terjadi di saat yang ingin kulakukan
hanyalah untuk mengenang kembali dirimu yang sudah mulai pudar di benakku.
Nyaris
setahun kamu pergi, nyaris satu tahun itu pulalah aku menghindari segala
tentangmu semata-mata agar aku sembuh, namun aku belakangan sadar bahwa itu
egois. Aku akan menjadi pembunuhmu yang utama jika aku benar-benar melupakanmu
dan menghindari dunia seni yang sempat kita tekuni bersama.
Maka
dari itulah, aku memutuskan untuk setuju ikut dengan Ayah dan Ibu yang ingin
berlibur ke Italia. Aku ingin menemui banyak kepingan sisa seni Renaissance di
sini, dan menemukanmu hidup di sana, karena Renaissance adalah hal favoritmu
seumur hidup.
Aku
melihat lukisan lainnya, yang kali ini adalah tentang salah satu sungai di
Italia namun sepertinya dibuat dalam setting tahun 1970-an. Bingkainya jauh
lebih mengkilat dari yang sebelum-sebelumnya, aku menghidu aroma pelitur.
Kembali kamu yang datang ke dalam ingatan, karena aku ingat kamu sering sekali
mengoleskan pelitur pada bingkai-bingkai lukisan spesialmu yang kamu pajang di
perpustakaan rumahmu.
Lukisan-lukisan
ini memang nyawamu, bingkainya adalah penjaga sisa hidupmu untuk tetap di
tempatnya, dan catnya seolah rekam hidupmu.
Mataku
berkeliling dan menemukan lebih banyak jenis lukisan, tak absen dirimu berada
di setiap bingkainya. Ada kamu di balik meja sebuah potret jamuan kerajaan yang
dicat dengan warna-warna pucat. Ada kamu di atas sebuah pelangi yang dilukis
melengkung di antara dua tebing. Ada juga kamu, lagi-lagi, berdiri di dekat
pohon ek yang dilukis soliter di atas padang rumput yang menguning. Kamu selalu
di sana, di dalam lukisan manapun yang kutemui.
Tiba-tiba
rasa sesak memenuhi tubuhku. Angin pendingin ruangan entah kenapa terasa begitu
membekukan, lalu aku menggeleng dan berlari keluar. Aku terlalu banyak
menemukan kamu di sini dan itu
artinya hanya satu: menyedihkan. Menyedihkan walau aku masih bisa mengingatmu
di setiap lukisan, kamu tidak pernah datang.
Aku
pergi keluar lewat pintu samping dan menutup wajahku. Sudah satu tahun berlalu
tapi aku masih serapuh ini, seharusnya aku menertawakan diriku. Ini konyol. Aku
yang konyol. Seharusnya aku lega karena kamu meninggalkan kenangan terbesar
yang bisa kutemui di manapun; di museum kota mana saja, di pagelaran seni
apapun, di pameran di gedung apa saja. Aku menurunkan tanganku, dan akhirnya
memenangkan kekuatan diriku sendiri atas serbuan kesedihan yang lagi-lagi
bersumber karena kata “kehilangan”.
Aku
melihat-lihat lebih banyak lukisan. Aku melihat tiga lukisan yang sepertinya
adalah semacam ‘trilogi’ yang dideret berdekatan, dan aku melihat kamu di salah
satunya, di bagian tengah, berdampingan dengan seorang dewi yang berpakaian serba
kelabu. Aku menyunggingkan senyum. Di berbagai penjuru, bahkan di mosaik yang
ada di jendela, aku melihat kamu tertawa di sampingnya seolah kamulah yang baru
selesai membuatnya. Kamu selalu cinta seni, seni mozaik, ukir, bahkan grafir
sekalipun. Bahkan kamu pernah bilang ingin mencoba seni musik. Kalau saja
usiamu lebih panjang.
Kamu
tidak mati. Kamu selalu ada di interior museum, pagelaran budaya, bahkan
pameran seni. Di mana saja ada lukisan, selalu ada kamu dan nyawamu yang
tersisa untuk tetap menghidupkan nyawamu yang lain; yang ada di benakku.
0 komentar: