Target
Target
.
#KarakterINTJ
- @KampusFiksi
INTJ: individual, analitis, kreatif,
pragmatis, logis, rasional, tidak terlalu sosial, paling independen [—anf1598@wordpress]
.
.
Rune
menggoreskan spidol hitam ke atas kertas hijau yang ada di sisi kiri dalam
lokernya. Tulisan 'Target dan Impian
Kelas Sebelas: Power Forward tim basket putri sekolah!' akhirnya tertutup
oleh tanda silang besar yang tebal. Rune memandanginya sebentar sebelum
akhirnya melepaskan kertas itu dari sana. Sisa-sisa lemnya masih menempel di
dinding sempit. Rune menggumpalnya kasar, kemudian memasukkannya ke dalam
tempat sampai—satu setengah meter dari tempat kakinya berpijak. Sukses, tanpa
cela. Hanya dengan lemparan tanpa perlu banyak daya. Kemampuan yang memang bisa
diharapkan darinya.
Ada
cermin bundar kecil yang terpasang di pintu loker bagian dalam. Rune
memandang dirinya yang lain, yang ada di dalam sana. Dia dan basket adalah
jodoh, begitu yang dikatakan cermin. Rambut pendek, kulit kecokelatan, dan mata
yang tajam. Tapi penampilan hanyalah profit tak terpakai ketika hatinya memang
pada akhirnya tidak setuju untuk berada di dunia itu. Rune pun menutup pintu
loker dengan cara yang menimbulkan bunyi efek nyaring.
"Ru!"
"Mmn?"
Rune hanya menoleh sekilas dan memastikan bahwa dugaannya tak salah.
Kisha
masih memakai jersey. Wajahnya basah oleh keringat walau ada handuk yang
disampirkan di pundak kanannya. Kepang ekor kudanya berantakan. Dia memperpendek
jarak dengan Rune, lalu ikut berjalan lambat dengan napas yang masih
kacau.
"Apa?"
"Dera
pengin kamu balik ke tim."
Rune
menggeleng mantap, "Nggak."
"Turnamen
sebentar lagi, Ru. Dia juga mau temenan lagi sama kamu. Terus, kalau kamu ikut
main, aku yakin kita menang. Hadiahnya gede. Lebih dari lumayan, tuh."
Sekali
lagi, Rune menggeleng. "Kalau dia butuh aku, kenapa dia nggak ngomong
langsung, coba."
Kisha
terdiam. Sekadar untuk melirik Rune pun enggan. Sedikit takut.
"Mending
jujur, lah. Jujur kalau dia perlu skillku sebagai pemain, bukan sebagai kawan.
Ketahuan, kok, maunya apa, " Rune memasang jaketnya, "Kamu balik aja.
Nggak usai repot-repot ngajak aku karena aku juga nggak bakal mau."
"Tapi
kami serius, Ru ..." langkah Kisha melambat. Mulai ragu. Dan matanya cepat
meliar begitu bertemu dengan mata Rune. Rune benar dengan analisisnya, dan
Kisha-lah yang kalah. Kisha akhirnya berhenti.
"Emangnya
siapa kemarin yang marah-marahin aku karena pola mainku yang lebih banyak main
sendiri? Yang membicarakanku di belakang dan bilang bahwa aku ini cuma
penyendiri yang egois, yang berbakat tapi sayangnya nggak mau kerja bareng tim?
Kenapa dia harus datang lagi lalu minta aku balik cuma karena alasan pengin
temenan lagi? Alasan dia yang itu nggak rasional, setelah apa yang dia lakuin
ke aku, kecuali kalau alasan dia adalah cuma mau nyari titel kemenangan."
Rune
pergi tanpa mau menoleh kembali. Koridor dilaluinya dengan cepat. Perpustakaan
dimasukinya. Dia mengambil posisi di sudut ruangan, meski banyak bangku
tersedia dan dia bisa saja mengambil yang di dekat pintu agar terang atau di tengah-tengah
agar sejuk terkena udara dari pendingin ruangan. Atau di dekat jendela agar
ramai karena ada beberapa teman seangkatannya.
Dia
berada tepat di samping rak buku khusus novel. Rak itu sengaja dibuat di paling
ujung oleh pihak perpustakaan, agak terasing dari buku-buku pelajaran lain,
untuk mengatur prioritas bacaan murid-murid.
Rune
mengeluarkan buku paket fisika dan berikut buku catatannya. Tak lupa sebuah
notes kecil berisi kumpulan rumus. Memasang sepasang headset menjadi hal final
yang dia lakukan sebelum mengangkat pulpen.
Rune
menjeda pekerjaannya setelah beberapa menit, lalu meregangkan tangannya dan
memandang pada rak buku yang menempel di dinding. Beberapa novel baru masih
cemerlang sampulnya. Ada yang bersampul oranye, dan diambilnya. Dipandanginya
sebentar. Dia tersenyum sambil meletakkan kembali buku itu.
Tulisan
'Korona - Rune Deary Amadea' tercetak jelas di sisi samping buku itu.
Dia
mulai berpikir untuk menyumbangkan hal serupa untuk kedua kalinya ke
perpustakaan ini.
Mungkin
tempat untuknya mengaum bukan di keramaian akan orang-orang yang egois, tapi di
ruang imajinasinya sendiri, dia pikir.
Sebuah
panggilan masuk. Farhan.
"Berhenti
dari basket, ya?"
"Iya.
Aku ternyata emang kurang cocok kerja di klub yang penuh interaksi begitu.
Apalagi orang-orangnya ambisius semua. Dan aku jadinya kurang bisa
mengembangkan diriku."
"Oh
...."
"Kenapa?"
"Nggak.
Rasanya ada yang beda aja kalau latihan gabungan."
Rune
tersenyum kecil. Pipinya agak panas.
"Malam
minggu kosong nggak?"
"Iya."
"Oke.
Tunggu aja ya. Jam setengah delapan."
Lalu
telepon berakhir setelah kesepakatan dicapai. Rune tenggelam lagi di dunianya
sendiri. Biarlah sudah, impian dan target kelas sebelas yang ingin dia capai
biar lepaslah saja. Yang penting dia merasa nyaman di sudut perpustakaan,
dengan musik, rumus-rumus, dan sesekali memikirkan tentang masa depan atau
memperhitungkan akan apa yang baiknya dia lakukan setelah ini untuk
mengembangkan kreatifitasnya.
0 komentar: