Soaked in Sweat Together

Soaked in Sweat Together

tantangan @KampusFiksi: #DeskripsiKeringat
sampit: minggu — 140831
.

Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan—ya, ya, hukum alam, siapa yang bisa menolak?—dan tipenya berbeda-beda. Dan aku juga sama. Kekurangan, ada. Banyak. Kelebihan juga ada beberapa. Tapi ada satu kelebihan yang membuatku jadi orang yang punya julukan khusus sampai terkenal ke kelas tetangga, dan teman-teman sekelasku kerap mengejekku dan menjadikan kelebihan ini sebagai bahan untuk membuatku memberengut sebal di jam-jam olahraga.
Kelebihan keringat!
Jam olahraga adalah neraka bagiku. Belum juga apa-apa. Baru pemanasan dan beberapa kali gerakan, karena sering aku berdiri di bagian yang terpapar matahari pagi paling intens, belum ada tiga menit berjalan, keringat sudah meluncur terjun dari pelipis. Lalu lima menit kemudian, keringat seperti berlomba untuk sampai ke dagu dan menetes jatuh ke tanah. Aku mulai merasa bahwa kegerahan itu mengusik sekali. Dan suatu waktu, ketika kami diminta untuk melanjutkan pemanasan dengan berlari mengelilingi halaman, teman sekelasku yang mulutnya paling usil, Deny, meneriaki, “Dyana jadi sundel bolong! Punggungnya bolong gara-gara keringat!”
Aku meraba punggungku, yang ternyata super basah. Pola bulat dengan warna yang lebih gelap dari kaos olahragaku pasti sudah tercetak besar lagi gara-gara hasil buangan berlebih ini.
Ketika jam olahraga berakhir, cuma akulah satu-satunya perempuan yang ‘mandi’ keringat. Mereka biasa saja, tidak sebasah aku. Wajahku seperti disiram air dan rambutku terasa begitu lengket sampai-sampai aku ingin memotong rambutku saja secara asal-asalan—kalau aku lupa betapa sayang dan sukanya aku dengan model rambut panjang. Deny si usil lewat di sampingku dan memencet hidungnya, “Hiii,” lalu aku menyepak kakinya. Gagal, sayangnya. Aku mengepalkan tanganku untuk menahan kesal, tapi langsung kubuka lagi gulungan jari-jariku. Bahkan telapak tanganku terasa lengket!
Untunglah, ketika kutanya Tatiana, dia bilang Deny cuma bercanda. Dia bohong, dan satu-satunya hal sebenarnya yang menjijikkan dariku hanyalah keringatku, dan bukan bauku. Syukur tadi aku pakai deodoran banyak-banyak.
Tapi aku tidak habis pikir sampai sekarang, kenapa cuma aku perempuan yang punya kasus begini, di seantero sekolah? Sebab aku tidak pernah mendengar satu pun perempuan lain yang punya julukan ‘Ratu Keringat’ selain aku.
Aku hampir tidak pernah pakai jaket kalau keluar ruangan. Aku punya cuma satu jaket dan hanya kupakai saat terpaksa sekali kalau keluar di malam hari. Baju-bajuku kebanyakan berwarna gelap, karena cuma itulah satu-satunya caraku untuk menghindar dari ‘gelar’. Karena walaupun aku menggunakan pakaian penyerap keringat yang baik, adanya bajuku malah berubah warna! Nyaman di kulit, memang, tapi tidak nyaman di hati. Penampilanku jadi aneh.
Mungkin ketika rerata buangan keringat orang-orang hanya sekitar seratus mililiter per hari, aku empat kali lipatnya. Apalagi kalau terpapar matahari langsung. Penyebabnya, mungkin ada yang salah dengan kelenjar ekrinku hingga produksinya berlebihan, di luar ambang batas tanpa ada yang mampu mengontrol. Atau mungkin satu hal lain—aku pernah membaca, bahwa setiap inci kulit, ada seribu sampai dua ribu kelenjar ekrin. Mungkin punyaku ada lima ribu per inci. Atau malah per senti.
Penyebabnya memang masih misteri, semisteri cara menanganinya! Bisa jadi aku harus pergi ke dokter kulit, tetapi pergi ke dokter bukan di top five prioritasku. Aku takut akan ada hal-hal yang jauh lebih mengerikan daripada sekadar masalah kelebihan keringat belaka, maka karena itulah aku masih malas untuk datang memeriksakan diri ke dokter.
Selain menanganinya, masih ada cara lain untuk menghindarkanku dari gelar Ratu Keringat barang satu hari. Dengan mencegahnya! Ya, salah satunya adalah dengan menghindar dari jam olahraga. Seperti yang saat ini kulakukan.
Aku beralasan bahwa kakiku sakit karena tadi jatuh di rumah. Ya, memang jatuh, sih, tapi sakitnya tidak seberapa dan kalau ditambahi dengan kegigihan, aku masih bisa ikut olahraga futsal pagi ini. Aku cuma membesar-besarkan alasan, demi diriku sendiri yang terlalu bosan dipanggil ‘Ratu Keringat’ atau ‘Nona Keringat’ lagi, jadi aku lebih ingin untuk menghabiskan waktu di kelas dengan membaca buku saja.
Aku menikmati hari ini. Ah, menyenangkan juga tidak berkeringat di tiap hari Rabu pagi begini.
Tatiana datang ke kelas dengan segelas jus nangka, Diseruputnya banyak-banyak ketika duduk di sampingku. Dia masih mengenakan pakaian olahraga.
“Tadi kamu dicariin.”
“Pak Rudi? ‘Kan aku udah bilang sama Bapak.”
“Bukan.”
“Siapa, dong? Deny? Mau ngejek lagi?”
Tatiana menggeleng, lalu dia minum sebentar sebelum melanjutkan lagi. “Anak kelas D. Namanya Yon.”
“Hah? Siapa itu? Nggak kenal,” keningku mengerut, “Kelas D yang jam olahraganya barengan kita terus dari kelas satu dulu, ‘kan?”
“Iya—”
“Anak baru?” langsung kupotong. Entah kenapa aku jadi antusias.
“Bukaaan. Dia nyaris nggak pernah ikut olahraga dan jarang keluar kelas ... dan sering absen, sih. Makanya banyak yang nggak tahu dia.”
“Tapi kok dia nyari aku, sih?” aku menunjuk diriku sendiri. Cuma kurang percaya saja, di antara semua cewek terkenal di sekeliling sekolah, kenapa harus aku, begitu. Aku cuma anak mediocre yang tidak menonjol selain karena keringatku, kok.
“Kamu tanya aja sendiri ke orangnya,” Tatiana beranjak sambil mengambil pakaian seragam yang tersampir pada punggung kursinya. Dia tersenyum jahil, lalu meninggalkanku yang terbengong-bengong.
*
Aku akhirnya ikut olahraga di hari Rabu berikutnya. Benar saja, rupanya ada satu orang anak kelas D yang baru kulihat kali ini, dan tak salah lagi, dia adalah Yon. Aku mencoba lari di dekat dia yang tertinggal jauh dari teman-temannya yang berlari tangkas dengan langkah lebar-lebar. Aku menoleh sambil berlari, dan meliriknya. Tak kusangka, dia sedang memandangku. Dan dia pun membalas senyumanku. Aku makin bertanya-tanya.
Ketika kami istirahat untuk nanti melanjutkan dengan voli, aku beranikan diri untuk duduk di dekatnya lalu bertanya padanya, “Kamu nyari aku Rabu kemarin, ya?”
Wajahnya yang memerah karena lelah sepertinya tambah merah. Dan kurasa hal serupa juga terjadi di wajahku karena kemudian dia tersenyum.
“Iya.”
“Kenapa ...?”
Kemudian dia bercerita bahwa dia menderita suatu penyakit dan kakinya pernah patah, jadi dia tidak boleh ikut olahraga selama beberapa tahun. Baru sekarang dia bisa ikut lagi. Lalu dia berkata, “Aku pengen bisa olahraga,” dia berkata agak pelan, sedikit berbisik, “Tapi aku malu minta ajari teman laki-lakiku. Teman-teman perempuan di kelasku malah suka mengejekku. Karena itu ... aku mau kamu ajarin aku voli, futsal, dan basket ....”
“Kenapa harus aku?” aku memandangnya tak percaya. Aku memang tak terlalu buruk dalam olahraga, namun bukan juga berarti aku bintangnya.
“Aku sering merhatiin kamu dari kelas ... sejak kita kelas satu. Kamu gampang banget berkeringat. Karena itu, aku menyimpulkan kalau kamu orangnya rajin olahraga dan sudah terbiasa.”
Aku hampir tertawa mendengar alasannya, tapi kutahan karena aku harus mengaku bahwa aku kagum juga dengan kesimpulan yang dia buat. Tanpa pikir panjang dan berulang-ulang, aku langsung mengangguk.
Aku akan membuat dia berkeringat bersamaku!


Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: