Aku, Jendela, dan Borneo

Aku, jendela, dan Borneo, adalah kesatuan yang terjadi ketika aku melakukan perjalanan membelah sungai dan hutan di selatan pulau ini. 

Ada banyak yang bisa kusaksikan, mulai dari anak-anak yang bermain botol bekas cola hingga para ibu yang mengobrol dengan tetua. Mulai dari anak-anak yang masih memakai rok merah tapi sudah memanggul lanjung di siang hari (tahu lanjung? Keranjang anyaman yang dipakai seperti ransel, kalau yang suka nonton Hetalia, benda ini sama persis dengan yang dipakai China buat membawa-bawa pandanya :3), hingga ibu-ibu yang mencuci di tepian sungai sepi. Mulai dari rumah yang sekadarnya di tepian hutan dan tak punya tetangga sampai rumah punya saudagar yang sudah bosan bermukim di kota. Mulai dari mobil mentereng di rumah bak istana sampai kendaraan tua yang terbiasa menyusuri jalanan yang tak rata.

Ada Bukit Tangkiling hingga Sungai Kahayan. Ada berbagai macam vegetasi. Ada yang hitam legam ketika musim kemarau, ada pucuk-pucuk paku yang mencuat seolah mereka menyimbolkan harapan baru. Ada yang hijau gelap rimbun di tikungan yang sempit, ada yang lapang dibingkai sungai kecil.

Ada juga banyak jembatan, dan sungai-sungai gelapnya yang jauh di bawah. Mungkin memang tidak jernih, tetapi memandangi gosongnya (gosong: bagian di tepian sungai yang kelihatan jelas waktu air surut) kadang menimbulkan perasaan tersendiri. Oh, oke, memang tidak ada padang rumput seperti di Swiss atau indahnya bukit di Italia, tapi tetap ada yang menarik. Melihat Sandung rasanya menimbulkan gagasan: oh, inilah identitasku. Dan ketika menemukan banyak orang-orang yang berkumpul untuk upacara Hindu sementara tak jauh di depan sana adalah perkampungan Muslim, rasanya, oh inilah warna-warniku. :)

Pepohonannya luar biasa. Dari durian sampai karet, dari vegetasi kelas bawah sampai cemara. Dari tanah yang kuning hingga bongkahan pasir yang putih. Ada padang ilalang yang memperlihatkan seolah tanahnya baru dihujani salju sejauh mata memandang, ada pula tempat yang sejauh mata memandang hanya ada paku-pakuan. Ada tempat yang di atasnya dibangun jalan layang sepanjang belasan kilometer, ada pula jalan naik-turun bukit yang disertai tikungan tajam. Kadang matahari terbenam di balik bukit dan ilalang, kadang pula bisa dilihat matahari terbit di ujung jalan.

Aku, jendela, dan Borneo (yang indah) kuharap tetap dapat dikatakan sebagaimana aku mengatakannya oleh anak-cucuku nanti. :D


Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: